Mohon tunggu...
Salman Alfarizhi
Salman Alfarizhi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang mahasiswa jurusan Informatika yang gemar berbincang masalah teknologi,seni dan transformasi digital.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Payment ID: Transparansi atau Invasi Privasi?

26 Juli 2025   08:46 Diperbarui: 26 Juli 2025   08:46 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A central Payment ID connects to multiple financial institutions. (Sumber: AI-generated via Whisk oleh penulis) 

 

Di tengah gempuran digitalisasi yang terus melaju di semua lini kehidupan, Bank Indonesia bersiap meluncurkan sebuah inovasi baru: Payment ID. Rencananya akan mulai diberlakukan pada 17 Agustus 2025, tepat di hari ulang tahun kemerdekaan RI yang ke80. Kedengarannya memang menarik---satu nomor identitas untuk semua transaksi keuangan, dari belanja online, bayar cicilan, pinjam uang lewat aplikasi, sampai investasi. Tapi di balik janji efisiensi dan transparansi, tersimpan pertanyaan besar: apa kabar dengan privasi kita sebagai warga negara?

Ambisi Besar di Balik Deretan Angka

Payment ID ini bukan sekadar nomor acak. Ia lahir dari gabungan data NIK dan kode transaksi tertentu. Secara sederhana, sistem ini akan merekam dan mengintegrasikan setiap transaksi finansial seseorang dalam satu platform. Bayangkan seperti jejak digital di dompet: ke mana pun uang Anda mengalir, sistem tahu.

Di atas kertas, Payment ID punya manfaat besar. Bank bisa lebih akurat menilai kelayakan finansial seseorang tanpa harus bergantung pada data lama seperti histori kredit dari SLIK OJK. Semua lebih real-time. Bahkan BI bisa melihat siapa yang sedang terjebak utang pinjol, siapa yang stabil, dan siapa yang belanjanya melebihi pendapatan.

Tapi, Bukankah Itu Terlalu Banyak yang Mereka Tahu?

Nah, di sinilah mulai terasa ganjil. Ketika semua transaksi keuangan seseorang terpusat dalam satu sistem, risiko penyalahgunaan pun jadi lebih tinggi. Bukan cuma dari peretas, tapi bisa juga dari pihak internal yang tak bertanggung jawab. Ini bukan sekadar soal uang---tapi tentang siapa kita, gaya hidup kita, bahkan pola pikir kita yang bisa ditebak dari kebiasaan bertransaksi.

Kita tidak sedang bicara teori konspirasi. Ini soal kenyataan bahwa semakin banyak data yang tersimpan dalam satu sistem, maka semakin besar pula godaan untuk mengakses dan memanfaatkannya---entah untuk kepentingan bisnis, politik, atau kontrol sosial yang lebih luas.

Persetujuan yang Belum Tentu Disadari

Bank Indonesia memang menegaskan bahwa semua akses data akan membutuhkan persetujuan pengguna. Akan ada notifikasi yang muncul di ponsel ketika, misalnya, bank ingin melihat data transaksi Anda. Tapi mari jujur saja: berapa banyak dari kita yang benar-benar membaca, memahami, dan mempertimbangkan sebelum menekan tombol "setuju"?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun