Â
Tak bisa dipungkiri, dalam beberapa tahun terakhir, kecerdasan buatan (AI) berkembang dengan kecepatan yang luar biasa. Kalau dulu AI hanya terasa seperti konsep futuristik di film sci-fi, kini ia sudah hadir nyata---membantu kita menulis, membaca, mendesain, bahkan... menulis kode. Di dunia rekayasa perangkat lunak, munculnya asisten seperti GitHub Copilot, Tabnine, atau Amazon CodeWhisperer membuat proses ngoding jadi jauh lebih cepat dan otomatis. Tapi di balik semua kemudahan itu, ada pertanyaan besar yang mulai mencuat: Apa kabar dengan kurikulum informatika saat ini? Masih relevankah dengan kenyataan di lapangan?
AI dan Posisi Programmer Pemula yang Tergeser
Kalau dulu tugas-tugas pemrograman dasar seperti bikin validasi form, sorting, atau connect ke database adalah lahan belajar bagi programmer pemula, sekarang tugas-tugas itu bisa selesai hanya dengan satu atau dua baris prompt. AI bisa menyarankan fungsi, merapikan kode, bahkan memperbaiki bug secara otomatis---cepat, akurat, dan tanpa lelah. Dalam beberapa kasus, AI bahkan bisa menyelesaikan tugas lebih cepat dari mahasiswa yang baru lulus.
Laporan dari GitHub tahun 2023 bilang, lebih dari separuh penggunanya merasa produktivitas mereka meningkat berkat Copilot. Banyak pekerjaan yang sebelumnya biasa dikerjakan oleh fresh graduate kini bisa diambil alih sistem otomatis. Ini bukan cuma soal efisiensi---ini tentang bagaimana skill dasar yang dulu jadi modal awal karier, sekarang mulai kehilangan nilainya.
Kurikulum yang Masih Tertinggal Zaman
Sayangnya, sebagian besar kurikulum di universitas atau bootcamp masih berpegang teguh pada pola lama: mahasiswa diajak belajar dari nol, mulai dari struktur data, loop, hingga membuat program sederhana. Metode ini tentu masuk akal di masa lalu, tapi di tengah gempuran tools AI yang bisa generate kode instan, pendekatan ini mulai terasa... lambat. Bahkan usang.
Di sisi lain, industri saat ini justru membutuhkan lulusan yang bisa berpikir lebih jauh: bagaimana membangun sistem, mendesain arsitektur backend, mengelola skala, dan berkolaborasi dalam tim. Ketika mahasiswa menghabiskan dua atau tiga tahun hanya untuk memahami dasar-dasar coding yang sekarang bisa ditulis AI dalam hitungan detik, maka terjadi kesenjangan yang cukup lebar antara pendidikan dan kenyataan dunia kerja.
Saatnya Berpindah Fokus: Bukan Lagi Sekadar Menulis Kode
Kurikulum kita harus bertransformasi. Dari yang tadinya fokus pada teknikal, menjadi lebih ke arah konseptual. Artinya, mahasiswa nggak cukup hanya bisa menulis baris kode. Mereka harus bisa membaca konteks, menganalisis masalah, dan memikirkan solusi dengan melibatkan AI sebagai partner kerja---bukan sekadar alat bantu.
Secara garis besar, pendekatan baru ini menuntut pergeseran cara mengajar:
Bukan lagi "bagaimana menulis kode", tapi "bagaimana membangun solusi".
Bukan hanya memahami sintaks, tapi juga struktur sistem dan integrasinya.
Bukan mengetik baris per baris, tapi berpikir kritis dan kerja tim lintas disiplin.
Mahasiswa juga perlu belajar kapan harus memercayai AI, dan kapan harus turun tangan sendiri. Ini soal logika, evaluasi solusi, dan etika penggunaan teknologi.
AI Tidak Menyingkirkan Programmer, Justru Mempercepat Belajar
Yang perlu digarisbawahi: AI bukan musuh. Ia bukan pengganti, tapi percepatan. Programmer pemula justru bisa melompat lebih cepat ke tahap-tahap belajar yang sebelumnya butuh waktu lama untuk dicapai. Tidak perlu lagi terlalu lama bergulat dengan hal-hal teknis dasar yang sudah bisa dikerjakan AI, dan mulai fokus ke hal-hal yang lebih substansial: memahami sistem terdistribusi, belajar machine learning, atau mengeksplorasi keamanan data.
Peran "junior developer" juga berubah. Bukan lagi sekadar eksekutor tugas-tugas kecil, tapi seseorang yang bisa:
Menulis prompt yang jelas untuk memandu AI menghasilkan kode yang tepat
Meninjau hasil kerja AI, mengecek potensi bug atau bias
Berkolaborasi dengan tim, bukan hanya manusia, tapi juga dengan sistem berbasis AI
Keterampilan Abad 21 Jadi Kunci
Transformasi ini menuntut perubahan besar di level pendidikan. Soft skill seperti berpikir kritis, kemampuan menyelesaikan masalah, kerja tim, dan literasi digital harus masuk ke dalam kurikulum inti. Bahkan lebih dari itu, mahasiswa sekarang juga perlu melek AI---memahami bagaimana AI bekerja, di mana batasannya, dan bagaimana menggunakannya dengan cara yang etis.
Kita tidak hanya bicara soal kemampuan teknis, tapi juga tentang nilai dan tanggung jawab. Jangan sampai AI digunakan asal-asalan, apalagi sampai melanggar privasi, merugikan orang lain, atau sekadar jadi jalan pintas tanpa pemahaman.
Tidak Mudah, Tapi Harus Dimulai
Tentu saja, perubahan sebesar ini tidak bisa terjadi semalam. Banyak dosen dan pengajar mungkin masih asing atau bahkan ragu untuk mengintegrasikan AI dalam proses belajar. Belum lagi masalah infrastruktur di kampus-kampus yang belum siap secara teknologi.
Namun, perubahan bisa dimulai perlahan---misalnya dengan memasukkan proyek berbasis AI ke dalam tugas akhir, membentuk komunitas AI di lingkungan kampus, atau menjalin kerja sama dengan platform besar seperti GitHub atau Google untuk menghadirkan tools ke ruang kelas. Yang penting adalah komitmen untuk terus menyesuaikan diri.
Programmer Bukan Punah, Tapi Berevolusi
Pekerjaan sebagai programmer tidak akan punah. Tapi definisinya berubah. Seperti akuntan yang tak lagi menghitung manual karena sudah ada software, programmer juga harus berevolusi dari sekadar "tukang ketik kode" jadi perancang solusi.
Dengan kurikulum yang tepat dan fleksibel, lulusan informatika akan tetap punya tempat di industri. Bahkan mereka bisa lebih unggul---karena bukan hanya tahu cara membuat kode, tapi juga paham alasan di balik setiap barisnya, tahu kepada siapa solusi ditujukan, dan tahu alat terbaik yang bisa dipakai.
Siapkah Pendidikan Kita Mengikuti Realitas?
AI telah mengubah wajah rekayasa perangkat lunak. Dan perubahan ini tak bisa diabaikan. Kurikulum informatika tidak bisa lagi terpaku pada pola lama. Ia harus bergerak, menyesuaikan arah, dan membekali mahasiswa dengan keterampilan yang benar-benar dibutuhkan di dunia nyata.
Peran programmer pemula memang berubah, tapi bukan hilang. Mereka tetap dibutuhkan---asal mau dan mampu beradaptasi. Tugas pendidikan sekarang adalah memastikan mereka tidak hanya jadi penonton revolusi AI, tapi justru jadi pelaku utamanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI