Mohon tunggu...
Salman Alfarizhi
Salman Alfarizhi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang mahasiswa jurusan Informatika yang gemar berbincang masalah teknologi,seni dan transformasi digital.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Krisis Epistemik di Era Digital: Melawan Disinformasi Deepfake dengan Teknologi dan Literasi

11 Juli 2025   19:05 Diperbarui: 11 Juli 2025   18:51 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A  person removing a glowing deepfake mask(Sumber: AI-generated via ImageFx oleh penulis) 

Lahirnya Realitas Sintetis

Di pertengahan dekade 2025-an ini, kita tak sekadar hidup di dunia digital kita menyatu dalam sebuah realitas baru yang semakin kabur batasnya. Apa yang dulunya nyata kini bisa direkayasa; yang palsu, bisa tampak sangat meyakinkan. Teknologi Kecerdasan Buatan (AI), khususnya deepfake, menjadi biang dari pergeseran besar ini. Bayangkan saja video seseorang yang tampak begitu asli, padahal ia tidak pernah mengucapkan atau melakukan hal yang terlihat di layar. Itulah kekuatan deepfake, dan inilah awal dari krisis epistemik: sebuah krisis tentang bagaimana kita mengetahui sesuatu itu benar atau tidak.

Masalah ini bukan sekadar soal hoaks atau berita palsu. Deepfake mengikis landasan dasar dari kepercayaan digital. Masyarakat kini dihadapkan pada dilema serius: bagaimana caranya tahu mana yang nyata dan mana yang palsu? Untuk menghadapi tantangan ini, kita membutuhkan dua pendekatan yang saling menguatkan pengembangan teknologi pendeteksi yang mumpuni, dan lebih penting lagi, membangun literasi digital yang kritis dan meluas.

Dari Manipulasi Visual hingga Runtuhnya Kepercayaan

Secara teknis, deepfake lahir dari Generative Adversarial Networks (GANs) dua sistem AI yang "berduel": satu menciptakan konten palsu, satu lagi mencoba mengungkapnya. Pertarungan ini menghasilkan video dan audio palsu yang makin sulit dibedakan dari yang asli. Dulu hanya jadi mainan para peneliti atau penggemar teknologi, kini siapa saja bisa mengakses dan menggunakannya termasuk untuk tujuan jahat.

Dampaknya? Jangan anggap remeh. Di dunia politik, misalnya, sebuah video deepfake bisa menampilkan tokoh penting mengatakan sesuatu yang merusak reputasinya cukup dipublikasikan beberapa hari sebelum pemilu, dan hasilnya bisa mengubah arah sejarah, meskipun terbukti palsu belakangan. Di dunia bisnis, ada kasus di mana suara palsu bos perusahaan dipakai untuk menipu staf agar mentransfer dana. Lebih mengerikan lagi, di ranah pribadi, banyak korban yang wajahnya digunakan dalam video porno tanpa persetujuan. Kehancuran mental dan sosial akibatnya bukan main.

Namun ancaman terbesarnya bukan dari satu kebohongan besar, melainkan dari dampak jangka panjangnya: ketidakpercayaan kolektif. Saat orang sadar bahwa apa pun bisa dipalsukan, mereka bisa jadi tidak percaya apa pun bahkan bukti yang benar. Ini yang disebut para pakar sebagai "dividen pembohong" (liar's dividend): saat orang jahat bisa berdalih bahwa bukti nyata sekalipun hanyalah hasil manipulasi AI. Dan dari situlah kepercayaan terhadap media, pemerintah, sistem hukum, bahkan sesama manusia mulai runtuh pelan-pelan.

Perang Teknologi Deteksi yang Terus Berkembang

Menanggapi ancaman ini, ilmuwan dan perusahaan teknologi mulai bergerak cepat. Mereka terlibat dalam "perlombaan senjata digital" menciptakan alat deteksi untuk melawan konten palsu yang makin canggih. Ada beberapa pendekatan yang menonjol.

Pertama, analisis artefak digital. Meski tampak sempurna di mata kita, konten deepfake generasi awal kerap meninggalkan jejak: pola kedipan mata yang tak natural, pencahayaan wajah yang janggal, atau distorsi aneh di area gigi dan latar belakang. Algoritma pendeteksi kini dilatih untuk mengenali detail-detail kecil ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun