Mohon tunggu...
Salamuddin Uwar
Salamuddin Uwar Mohon Tunggu... Guru - Penikmat Air Putih

Menjadi pengajar di pelosok timur Indonesia, sambil sesekali menikmati bacaan tentang Hukum, HAM, Demokrasi, Sosial Budaya, Bahasa, Sejarah, dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kontribusi Maluku untuk Indonesia

29 Maret 2024   08:52 Diperbarui: 29 Maret 2024   09:06 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam berbagai literatur sejarah, Maluku dikenal sebagai salah satu wilayah yang memiliki potensi rempah yang melimpah, jika dibandingkan dengan wilayah lain di Nusantara. Potensi tersebut menjadi daya tarik sekaligus petaka, mengingat Maluku sebagai penghasil rempah terbaik saat itu. Pala (Myristica fragrans) dan Cengkih (Syzygium aromaticum) adalah berkah sekaligus petaka bagi penduduknya. Pala dan cengkih memiliki magnet tersendiri bagi para petualang dan pedagang Eropa yang kelak mengubah diri menjadi imperialis dan kolonialis, demi memuaskan hasrat kekuasaan atas hasil rempah Maluku.

Aroma pala dan cengkih membuat para para petualang dan pedagang Eropa sangat bernafsu menguasai Maluku dan Nusantara. Dan dari sinilah, imperialisme dan kolonialisme di Nusantara menemukan bentuknya. Dan dari sini pula, perlawanan terhadap keserakahan imperialisme dan kolonialisme mulai dikobarkan. Tahun 1520 rakyat Hitu mulai melakukan perlawanan terhadap Portugis, akibat keserakahan atas monopoli perdagangan Cengkih. Begitu pun dengan rakyat Ternate dan Tidore, mereka mulai melancarkan perlawanan atas monopoli perdagangan oleh Portugis pada tahun 1530-an. Lalu kurang lebih setengah abad kemudian, tepatnya pada tahun 1609-1621 rakyat Banda bangkit melawan dominasi dan keserakahan sebuah kongsi perdagangan Belanda yang bernama Verenigde Oostindische Compagnie (VOC).

Perlawanan rakyat Maluku terhadap keserakahan imperialisme dan kolonialisme atas rempah Maluku terus berlanjut hingga tahun 1817 oleh Kapitan Pattimura bersama dengan tokoh-tokoh seperti; Said Perintah, Cristina Martha Tiahahu, Anthony Rhebok, dan lainnya. Dan perlawanan Kapitan Pattimura atas kesewenang-wenangan kolonialisme pun berakhir di tiang gantungan, namun sebelum itu Kapitan Pattimura mengobarkan semangat juang pada generasi selanjutnya dengan mengatakan; "Pattimura-pattimura tua boleh dihancurkan, tetapi kelak pattimura-pattimura muda akan bangkit"

Peran Pemuda Maluku Masa Pra Kemerdekaan

Pasca perlawanan Pattimura tahun 1817, satu abad kemudian ucapan Kapitan Pattimura saat menghadapi tiang gantungan terbukti dengan lahirnya para pattimura muda pada saat masa pergerakan nasional. Pattimura-pattimura muda mengalihkan medan perjuangannya tidak lagi dengan mengangkat senjata, tapi melalui perang pemikiran dengan mendirikan Jong Ambon. Dari organisasi inilah, anak-anak muda Maluku berkontribusi terhadap usaha meraih kemerdekaan bangsa Indonesia. Keterlibatan mereka secara aktif dimulai dari masa pergerakan nasional. Setelah Jong Ambon didirikan dan diketuai oleh dr. J. Kayadu, pada tahun 1922, Jong Ambon ikut bergabung dengan organisasi yang lebih besar, yakni Serikat Ambon yang di ketuai oleh A.J. Patty di Semarang.

Pada tahun 1925, A.J. Patty dibuang ke Bengkulu, kemudian Digul di tahun 1932. Rekan-rekan A.J. Patty melakukan usaha untuk menyelamatkan Serikat Ambon dengan pembentukan Komite Serikat Ambon, dipimpin oleh J.L.Matulatuwa dan dibantu anggota lain seperti A.A Parera, de Queljoe, C.F.Rhibok, R.M. Mochtar, Abraham Barnella dan D.Ayawaila. Sementara itu, cabang Serikat Ambon yang dipimpin oleh J. Kayadu di Batavia juga mengalami perubahan dengan dipindahkan ke Surabaya, dan kemudian dipimpin oleh Johannes Latuharhary

Pada kongres pemuda I maupun kongres Pemuda II, anak-anak muda Maluku ikut serta berperan bukan hanya sebagai peserta, tetapi ikut memprakarsai pelaksanaan kedua kongres kepemudaan tersebut. Sebelum pelaksanaan kongres I, para pemuda Maluku itu berkumpul untuk merencanakan serta membahas persiapan pelaksanaan Kongres Pemuda I. Persiapan tersebut pun berhasil dan ditandai dengan kehadiran Toule Soulehuwij yang mewakili pemuda Maluku pada pelaksanaan Kongres Pemuda I yang digelar pada tanggal 30 April - 2 Mei 1926.

Selanjutnya, setelah kesuksesan Kongres Pemuda I membuat Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) ingin melanjutkan Kongres Pemuda II pada tahun 1928. Kongres Pemuda II inilah yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda. Pada saat pelaksanaan kongres pemuda II, Jong Ambon tak hanya menjadi partisipan di Kongres Pemuda II. Akan tetapi Jong Ambon juga turut serta sebagai panitia di kongres tersebut dengan menunjuk Johannes Leimena sebagai pewakilan Jong Ambon.

Dalam susunan kepanitiaan kongres II tersebut Johannes Leimena ditunjuk sebagai pembantu IV. Ia kemudian bekerja sama dengan anggota panitia kongres lain seperti; Sugondo Djojopuspito, Djoko Masaid, Mohammad Yamin, Amir syarifuddin, dan lainnya. Dan puncaknya pada tanggal 28 Oktober 1928, Kongres Pemuda II menghasilkan kesepakatan yang disebut dengan Sumpah Pemuda. Poin-poin dalam Sumpah Pemuda tersebut, kemudian disepakati secara bersama oleh para peserta kongres Pemuda II untuk dijunjung tinggi, serta dilaksanakan dalam setiap kegiatan organisasi masing-masing demi mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Setelah Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda, para pemuda Maluku masih terus terlibat secara aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini terlihat pada susunan anggota BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai) yang dibentuk oleh pemerintah Jepang pada tanggal 1 Maret 1945 dengan jumlah anggota sebanyak 69 orang, dan salah satunya adalah Mr. Johannes Latuharhary. Dalam proses perumusan dasar negara Indonesia Merdeka, Mr. Johannes Latuharhary memiliki peran yang cukup penting, salah satunya dengan menyampaikan keberatan atas isi Piagam Jakarta yang dianggap akan berdampak besar terhadap pemeluk agama lainnya di tengah bangsa Indonesia yang majemuk. Dan pada akhirnya, keberatan yang disampaikan Mr. J. Latuharhary tersebut kemudian ditanggapi dengan pembentukan panitia kecil yang diketuai oleh Soepomo. Panitia kecil ini kemudian menyempurnakan bahasa sila pertama Pancasila yang kemudian kita kenal hingga saat ini.

Deklarasi 16 September 1945

Menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, peran tokoh-tokoh asal Maluku juga tidak bisa diabaikan, misalnya seperti Mr. J. Latuharhary yang juga merupakan anggota PPKI (Dokuritsu Junbi Iinkai) ikut serta mempersiapkan pelaksanaan Proklamasi kemerdekaan, dan ikut pula hadir pada saat perumusan naskah proklamasi. Setelah proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dua hari kemudian, yakni pada tanggal 19 Agustus 1945, PPKI melakukan sidang dan menetapkan Maluku bersama dengan Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera sebagai provinsi yang berada pada wilayah Negara Republik Indonesia. Namun dalam perjalanannya, terutama pada masa-masa awal kemerdekaan, Belanda masih terus berusaha untuk menguasai wilayah Maluku, sehingga pada tanggal 16 September 1945 rakyat Maluku melalui perwakilannya membuat deklarasi sebagai bentuk dukungan terhadap upaya mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Deklarasi 16 September 1945 secara politik memberikan efek kejut bagi sebagian rakyat Maluku yang masih berada di bawah pengaruh dan kekuasaan pemerintahan Belanda. Seperti orang-orang Maluku yang menjadi anggota KNIL, karena dengan adanya deklarasi tersebut, mereka tidak bisa mewakili dan atau mengatasnamakan Maluku untuk setiap kepentingan politiknya. Selain itu juga, deklarasi 6 September 1945 juga memicu perpecahan internal di kalangan KNIL. Ini terjadi karena banyak di antara tentara KNIL khususnya yang berasal dari Maluku yang bergabung dan berjuang bersama mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Di sisi lain, Berkat deklarasi tersebut, upaya-upaya untuk menjadikan Maluku sebagai negara sendiri yang merdeka, seperti yang dilakukan oleh C.R.S. Soumokil dengan mendeklarasikan RMS (Republik Maluku Selatan) tidak bisa bertahan lama, dikarenakan RMS tidak mendapatkan dukungan dari rakyat Maluku Selatan, apalagi dari rakyat Maluku secara keseluruhan.

Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia dan situasi politik dan keamanan mulai terkendali, putra-putri terbaik Maluku masih tetap memberikan kontribusi positif terhadap kelangsungan Pembangunan, terutama pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Sementara pada masa kepemimpinan Soeharto, putra-putri Maluku mulai kurang "diminati" untuk mengisi jabatan penting dan strategis seperti jabatan menteri, hanya pada awal pemerintahan Orde Baru, Soeharto mempertahankan G.A. Siwabessy sebagai Menteri Kesehatan, dan memunculkan sosok baru Abdul Gafur sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Setelahnya itu, tidak ada lagi yang memberikan ruang pada putra-putri terbaik Maluku untuk berkontribusi terhadap pembangunan  nasional. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun