Mohon tunggu...
Handika Weh
Handika Weh Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance in the world

Seorang penulis recehan yang terlahir di bumi Pasundan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Malaikat Pembuat Tangis

25 November 2020   18:11 Diperbarui: 25 November 2020   18:25 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dianggapkah aku insan..
Mengapa bumi bergetar dan ingin runtuh didekatku..
Haramkah aku menginjaknya..
Apakah begitu jijiknya muka ini buat sang mentari..
Sehingga sinarnya redup kala aku ingin tertawa..
Ha..ha..ha..ha..haaaa

Di mana Sang Pelindungku..
Ia tak hadir..
Di mana engkau berada..
Engkau tak hadir..
Di mana hati nuranimu ayah..
Ayah yang aku kenal tak hadir..

Kenapa iblis memilihmu untuk tertawa..
Kenapa iblis memilihku untuk menangis..
Kenapa ayah..kenapa..

Bukankah engkau malaikat pertama yang aku kenal..
Bukankah engkauh marah ketika aku berdarah..
Lantas kenapa KAMU membuatku berdarah dan membenci malaikat pertamaku..

Masih teringat dengan rinci mainan pertama yang engkau beri..
Masih terngiang dengan indah lagu tidur yang engkau nyanyikan dan lelap dengan cepat menghampiri..
Sampai datangnya pintu yang dikunci..
Sampai datangnya tempat tidur yang menangis dalam gelap..

Pengap..Perih..dan sakit..
Tolong aku ayah..
Ada iblis yang menyerupai wajahmu..
Tolong aku ayah..
Ada iblis yang ingin menghancurkan anak kesayanganmu..
Tolong aku ayah..
Aku tak kuat mencium alkohol yang menusuk hidungku..

Ayah aku membencimu..
Ayah aku menyayangimu..
Ayah ada iblis di dekatmu..
Ayah iblis tertawa melihatmu..
Ayah aku menangis karenamu..

"Puisi di atas terinspirasi dari cerita seorang anak perempuan berusia 17 tahun. Ia dirudapaksa oleh ayahnya yang sedang mabuk sempoyongan dan gelap mata. Karena ayahnya mengetahui bahwa anaknya bukan darah dagingnya setelah 17 tahun berlalu, dan istrinya telah berselingkuh lagi dan mengambil semua harta beserta surat-surat berharga yang Ia punya".

Karya : Handikaweh

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun