Mohon tunggu...
salahudin tunjung seta
salahudin tunjung seta Mohon Tunggu... Administrasi - Individu Pembelajar

Mohon tinggalkan jejak berupa rating dan komentar. Mari saling menguntungkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mendamaikan Masa Lalu Negeri

13 Februari 2018   12:28 Diperbarui: 13 Februari 2018   13:36 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar : newmandala.org)


20 Tahun sejak dibacakannya Proklamasi, yaitu 1965, meletup suatu tragedi yang biasa disebut G30S. Disisi lain, pasca 1965, diperkirakan terjadi berbagai penculikan, pembunuhan massal tanpa melalui proses peradilan. Dua tragedi ini hingga sekarang menimbulkan debat hingga konflik horizontal di tengah masyarakat.

Hal ini mengakibatkan munculnya dua pandangan di tengah masyarakat dari dua tragedi tersebut. Di satu sisi, berpandangan bahwa Negara patut bertanggungjawab atau "minta maaf" atas tragedi pasca 1965 kepada para keluarga korban dan keturunannya.

Karena menurut mereka, instrumen negara "bekerja" saat terjadinya tragedi pasca 1965 yang mengakibatkan banyak orang  hilang yang tak diketahui keberadaannya hingga kini, serta adanya perilaku diskriminatif di tengah masyarakat dengan labeling "Komunis" kepada para keluarga korban dan keturunannya .

Disisi lain, masyarakat berpendapat bahwa negara tak patut untuk meminta maaf kepada keluarga dan keturunan "Komunis". Mereka berpendapat bahwa tindakan para "Komunis" pada saat G30S adalah tindakan yang keji dan merupakan bentuk perlawanan kepada Negara, serta disinyalir bahwa tindakan dorongan kepada Negara untuk meminta maaf adalah tindakan atau taktik untuk menghidupkan PKI kembali sehingga muncul istilah Komunis Gaya Baru . Hal itu yang mengakibatkan sebagian masyarakat tak setuju Negara untuk meminta Maaf kepada para Korban.  

Perbedaan pendapat ditengah masyarakat yang berkelanjutan mengakibatkan gesekan-gesekan horizontal. Dampak terburuk dari kondisi seperti ini adalah politisasi isu, yaitu dibangunkannya isu "Bangkitnya Komunis" demi kepentingan Politik terutama kali ketika mendekati perhelatan Pemilu. Kondisi semakin diperburuk dengan kondisi masyarakat yang tidak dapat memilah informasi ketika saat ini sedang deras-derasnya informasi  dengan difasilitasi  jaringan internet.

Kondisi yang demikian mengakibatkan melambatnya masyarakat Indonesia untuk berkembang, karena masyarakat Indonesia seakan-akan selalu tersandung batu besar dari masa lalunya, yang secara jujur belum diungkap secara resmi oleh Negara melalui sebuah Narasi sejarah yang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Masyarakat Indonesia seakan belum menyelesaikan urusan antar saudara sebangsa setanah airnya sendiri.

Kita saling serang, kita selalu menganggap bahwa kelompok kitalah yang paling benar. Sekali lagi Kondisi seperti ini sangat sulit untuk membawa Indonesia melangkah ke "Zaman Emas" , zaman yang gilang-gemilang, padahal untuk menuju "Zaman Emas" diperlukan adanya sinergitas antar masyarakat untuk saling bahu - membahu.

Langkah untuk menghilangkan adanya gesekan horizontal akibat adanya konflik dan kekerasan di masa lalu adalah rekonsiliasi. Audrey Chapman merangkum apa yang dia pandang merupakan langkah-langkah yang diperlukan guna mewujudkan rekonsiliasi nasional pada masyarakat yang terpecah -- pecah akibat dari terjadinya konflik dan kekeran di masa lampau.

Menurut Chapman salah satu langkah pokok yang diperlukan adalah adanya pemahaman bersama bahwa sebagai sesama warga bangsa kita ini berbagi masa depan. Diperlukan kesadaran bersama bahwa kita ini saling berperan dalam menentukan masa depan satu sama lain.[1]

Negara sebagai penafsir tunggal sejarah seharusnya memfasilitasi "Islah"nya 2 kelompok masyarakat yang berbeda pandangan ini, apalagi pada pemerintahan saat ini , yang dinakhodai oleh Bapak Joko Widodo, berjanji untuk menyelesaikan pelanggaran HAM Berat masa lalu di Indonesia.

Pemerintahpun melalu pendidikan formal memberikan pendidikan Sejarah yang tidak provokatif dan memberikan pandangan luas untuk terciptanya suasana sejuk , damai ditengah masyarakat.

Salah satu persyaratan dasar bagi terwujudnya kebenaran, keadilan, dan rekonsiliasi dalam kaitan dengan Tragedi '65 adalah bahwa negara harus mengakui dalam tragedi itu telah terjadi pelanggaran hak-hak asasi warga negara dan negara menyatakan diri bertanggung jawab atas hal itu.

Sudah jamak diketahui bahwa pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965 itu hanya bisa terjadi karena ada koordinasi yang dilakukan oleh alat-alat negara. Oleh karena itu di Indonesia, rekonsiliasi dan pemulihan hanya bisa terjadi kalau negara mau melibatkan diri di dalamnya.[2]

Masyarakat pun diharuskan bersikap lebih dewasa dalam menanggapi Topik Sejarah tidak hanya terkait 1965, dan pasca 1965 saja tetapi semua sejarah di Indonesia, karena segala yang terjadi di masa lalu memiliki kaitan dengan masa sekarang , ketika masyarakat termakan isu sejarah yang tidak jelas sumbernya maka dampaknya akan terjadi perbedaan pendapat, hingga ekstremnya gesekan 2 pandangan seperti pada isu 1965.

Rekonsiliasi lebih mudah apabila kelompok kiri mengingat juga peristiwa sebelum G30S (aksi sepihak dan lain-lain) dan sebaliknya kalangan (mayoritas) islam mengingat pula peristiwa sesudah G30S (termasuk pembantaian massal 1965/1966, dan seturusnya). Selama ini kedua pihak hanya mengenang hal-hal yang merugikan mereka.[3] 

Sehingga kedua kelompok ini harus saling melihat kenyataan sejarah dengan obyektif dan tanpa selalu melihat dari sudut pandangan kelompoknya namun mencoba melihat menggunakan sudut pandangan lain. Hal seperti ini adalah sikap yang dapat mengajarkan kita untuk  dewasa dalam menanggapi dan menyelesaikan perbedaan pandangan.

Sebagaimana kita ketahui, entah benar atau salah, suatu pemahaman sejarah memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk masa depan suatu masyarakat atau bangsa. Melalui narasi sejarah yang benar kita akan dapat belajar untuk terus memperbaiki diri dan meminimalisasi kelemahan-kelemahan kita.[4]

 [1] Baskara .T Wardaya, Suara Di Balik Prahara, 2011, Yogyakarta: Galang Press, Hal. 10-11

 [2] Ibid, Hal.14                                                                                    

[3] Asvi Warman Adam, Membongkar Manipulasi Sejarah, 2009, Jakarta: Kompas, Hal, 158

[4] Baskara .T Wardaya, Op.Cit. Hal. 9-10

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun