Berbagai pengalaman antara satu makhluk bernama manusia dan manusia yang lainnya bisa sangat mungkin berbeda, ada yang memiliki pengalaman hidup yang menarik dan menantang karena kehidupan yang dihadapinya begitu keras sehingga menjadikan setiap detikan jam begitu bermanfaat di hidupnya. Ada pula yang memiliki pengalaman hidup yang begitu monoton, pagi hari bekerja sampai sore, kemudian malam hari beristirahat dan kembali lagi seperti itu setiap hari. Nah, itulah hidup teman-temanku. Berbeda, namun sama-sama perlu dinikmati. Bukankah begitu? Seperti kita yang sedang menikmati secangkir kopi di waktu senja, nikmat rasanya bukan?
Sudahkah teman-teman merasakan bekerja sebagai sosok sosialis, pekerja sosial maksud saya, yang dimana gajinya tidak seberapa dan lebih tertuju pada kata mengabdi? Selama 1 bulan ini, saya magang di Dinas Sosial kota Malang, walaupun magang saya berusaha seprofesional mungkin dalam bekerja. Sedikit beruntung bagi saya karena ditempatkan dalam Program Keluarga Harapan (PKH) yang diterapkan oleh Kementrian Sosial Republik Indonesia sejak tahun 2012.Â
Berurusan dengan beberapa keluarga yang kurang sejahtera namun masih memiliki motivasi adalah tugas magang saya sehari-hari. Karena saya adalah mahasiswa psikologi, tak begitu sulit bagi saya untuk mengerti dan memahami mereka sebagai sosok yang memerlukan uluran tangan orang-orang mampu yang sejahtera dan memiliki kehidupan yang lebih baik dibanding mereka yang masuk dalam PKH. Tempat magang saya ada di Mergan Lor, Sukun, Malang, tak jauh dari kampus tercinta saya. Banyak hal yang tidak terduga yang banyak diceritakan oleh ibu-ibu yang menerima bantuan PKH tersebut. Mau tahu apa saja permasalahan yang saya tangani selama magang? Baiklah akan saya ceritakan.
Masalah pertama yang dihadapi oleh ibu-ibu PKH di daerah Mergan Lor adalah pendidikan sang buah hati. Ternyata disana banyak sekali anak-anak yang berusia 10-15 tahun yang sudah putus sekolah karena orang tua yang tidak memiliki biaya atau kurangnya motivasi sang anak untuk melanjutkan pendidikan. Akhirnya, anak-anak yang putus sekolah itu pun beralih ke jalanan untuk "ngamen", "nyepek" (bahasa malangan), atau bekerja ditoko-toko sebagai "kuli". Sungguh malang nian nasib putra/putri bangsa ini. Miris sekali mendengarkan cerita ibu-ibu PKH yang curhat tentang pendidikan anak-anaknya.Â
Sampai pada akhirnya, saya menemukan solusi - walaupun masih training -- untuk memberikan motivasi kepada ibu-ibu PKH terlebih dahulu dalam tata cara parenting (dalam ilmu psikologi, cara mengasuh anak). Ibu-ibu PKH tersebut saya datangi dirumahnya masing-masing, jika ada anaknya pun akan saya berikan motivasi untuk tetap melanjutkan pendidikannya. Sampai saat ini, masih ada sekitar 3 anak di daerah sana yang masih tidak ingin melanjutkan pendidikannya dengan alas an bekerja di jalanan lebih menyenangkan, lebih menghasilkan daripada di dalam kelas belajar dan mendengarkan ceramah dari bapak/ibu guru. Namun, semua ini tak masalah bagi saya pribadi, saya masih tetap memotivasi sampai hari ini dan memonitoring ibu-ibu PKH yang sekarang ingin mendirikan kelompok wirausaha. Ya, semua ini memang butuh perjuangan, berjuang merubah mindset masyarakat agar berusaha lebih giat lagi dalam menyambung kehidupannya. Dan semua ini adalah tanggung jawab kita bersama sebagai sosok manusia untuk saling menolong dan bermanfaat untuk manusia di sekitar kita.