Mohon tunggu...
Seftyana Nisa
Seftyana Nisa Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa S1 yang masih perlu banyak belajar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Heisei ke Reiwa: Mungkinkah Jepang Dipimpin oleh Seorang Kaisar Perempuan?

20 Desember 2019   10:28 Diperbarui: 20 Desember 2019   10:43 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di depan tamu yang berjumlah kurang lebih 2000 orang dari 170 negara, pada Oktober lalu Kaisar Naruhito secara resmi menandai kekaisarannya dengan melaksanakan upacara naik tahta atau yang disebut dengan Sokui no Rei (BBC.com, 2019). Dilansir dari BBC.com (2019), Era Heisei yang dipimpin oleh ayahnya Akihito pun berakhir dan terhitung mulai dari 1 Mei 2019.

Jepang memasuki era baru bernama Reiwa yang dipimpin oleh Kaisar Naruhito sebagai kaisar ke-126.  Tetapi Jepang kemudian juga menghadapi masalah baru. Jepang kekurangan penerus laki-lakinya karena Kaisar Naruhito hanya memiliki seorang anak perempuan. Dari sini kemudian muncul perdebatan baru, mungkinkah Jepang akan dipimpin oleh seorang kaisar perempuan suatu hari nanti?

Sebagai salah satu monarki tertua yang berhasil mempertahankan garis keturunan laki-laki selama hampir 200 tahun, Jepang selalu ketat dengan aturan mereka mengenai perempuan. Berdasarkan Konstitusi Meiji tahun 1889 Artikel 2 yang menyatakan bahwa "The Imperial Throne shall be succeeded to by Imperial male descendants, according to the provisions of the Imperial House Law."

Maka untuk pertama kalinya dalam sejarah, Jepang secara resmi melarang perempuan untuk naik tahta. Selama 130 tahun sejak dibuatnya Konstitusi Meiji, Jepang berhasil menegakkan hukum yang sekaligus juga sebagi tradisi tersebut dengan baik. Kecuali ketika Kaisar Akihito menyatakan ingin mundur dair tahtanya.  

April 2019, Kaisar Akihito resmi mengundurkan diri setelah sejak tahun 2016 mengatakan bahwa Ia akan kesulitan dalam memenuhi tugas dan kewajibannya sebagai kaisar dikarenakan kondisi kesehatan yang terus menurun (BBC.com, 2017).  Padahal, Konstitusi Meiji (Meiji Const. art. I) menyatakan bahwa "The Empire of Japan shall be reigned over and governed by a line of Emperors unbroken for ages eternal." Pada akhirnya, 8 Juni 2017 parlemen Jepang memberlakukan aturan yang mengizinkan Akihito untuk turun tahta yang hanya berlaku sekali (BBC.com, 2017).

Melihat adanya inkonstitusional ini mampu membuka kemungkinan bahwa aturan yang melarang perempuan naik tahta dapat diubah. Itu berarti, Aiko, putri satu-satunya Naruhito dapat naik tahta meneruskan ayahnya. Akibatnya, garis keturunan laki-laki yang selama ini juga turut andil membentuk masyarakat Jepang yang sangat patriakis berubah menjadi garis keturunan perempuan.

Perubahan ini juga bisa mengantarkan ke perubahan-perubahan lainnya yang lebih matriarkis. Karena jika dilihat dari faktor sejarah pun, aturan mengenai pelarangan perempuan naik tahta tidaklah seketat itu---setidaknya sebelum Era Meiji. Berdasarkan Japanese Monarchy: Past and Present (Shillony, 2006), dalam sejarah Jepang terdapat 8 permaisuri yang berkuasa dari abad enam hingga abad kedelapan.

Para permaisuri tersebut juga merupakan orang-orang yang berhasil menunjukkan peran yang dominan seperti Suiko yang berhasil mempromosikan agama buddha, atau Jito yang berhasil membangun ibukota pertama yaitu Fujiwara-kyo, ataupun Gensho yang mendukung penggabungan nihon shoki yaitu buku sejarah resmi Jepang.

Perlu dicatat juga bahwasanya Pemerintah Jepang pernah membahas mengenai pengizinan perempuan untuk naik tahta. Pada tahun 2004, ketika tidak ada penerus laki-laki di struktur keluarga kaisar Jepang, Perdana Mentri Koizumi Junichiro membentuk advisory panel yang terdiri dari 10 anggota yang tugasnya adalah untuk merekomendasikan perubahan legal yang dapat menjamin keberlangsungan dinasti.

November 2005, panel ini memberikan laporan dan merekomendasikan agar perempuan diizinkan naik tahta dan menjadi serang kaisar. Bahkan panel ini memberi rekomendasi yang lebih jauh dari itu dan dipandang revolusioner, yaitu permaisuri yang berkuasa akan diziinkan untuk menikahi warga biasa dan keturunannya dapat melanjutkan tahtanya (Shillony, 2006).

Tetapi pada kenyataannya, rekomendasi tersebut tidak pernah diteruskan dan dibahas lagi hingga sekarang. Apalagi dengan kelahiran Pangeran Hisahito tahun 2006 yang berdasarkan hukum kekaisaran otomatis akan menajdi penerus selanjutnya setelah Naruhito.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun