Mohon tunggu...
Said Kelana Asnawi
Said Kelana Asnawi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen pada Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie

Dosen-Penyair, menulis dalam bidang manajemen keuangan/investasi-puisi; Penikmat Kopi dan Pisang Goreng; Fans MU

Selanjutnya

Tutup

Money

Privatisasi Freeport: Menjadi 'kaya'

1 April 2019   17:28 Diperbarui: 3 April 2019   10:00 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Beberapa waktu lalu mengemuka pro-kontra keberlangsungan kontrak karya penambangan PT Freeport Indonesia (PTFI) yang berakhir tahun 2021 dan pengalihan 20,64% saham Freeport pada Pemerintah Indonesia sehingga meningkat menjadi 30%. Isu lain, jika izin kontrak karya Freeport tidak diperpanjang, siapa (BUMN) mana yang akan 'mengambilalih' operasionalisasi Freeport?

Ada pula isu PTFI akan melantai di bursa. Cara ini sebenarnya cukup jitu untuk mengurangi pro kontra; karena kepemilikan akan 'menyebar' pada banyak pihak sehingga lebih banyak lagi yang memiliki (membela kepentingannya). Lihatlah kasus perusahaan rokok yang sudah jadi perusahaan terbuka (Tbk), di mana kepemilikan investor (individunya) hanya sekitar 2% saja tetapi tetap berkenan untuk jadi perusahaan Tbk; di sisi lain perusahaan air mineral terkenal mengubah kepemilikan terbuka menjadi tertutup.

Untuk kasus pertama, patut diduga 'investor individual' dijadikan 'bumper' jika terjadi 'tabrakan' kepentingan. Tentu saja dengan menjadi perusahaan terbuka, ada beberapa informasi yang harus dibagi sehingga mengurangi 'privasi'. Jika PT FMI menjadi perusahaan Tbk, Freeport tetap dapat menjadi pemegang saham mayoritas, sehingga tetap sebagai pengambil keputusan (rerata kepemilikan investor individu di BEI sekitar 30-an% saja). Beberapa faktor berikut ini dapat menjadi pertimbangan untuk menjadi perusahaan Tbk.

Pertama adalah keberlangsungan PT FMI ini. Dengan kontrak karya habis 20 tahun lagi, berarti umur ekonomisnya akan terus menurun, sehingga value perusahaan juga turun. Hal seperti ini tidak cocok dengan konsep bisnis. Patut dicatat, bagaimana saham Freeport-McMoRan Inc sebagai induk usaha Freeport Indonesia, di bursa AS terjun bebas sebelum ada kepastian perpanjangan kontrak. Pada 2 Januari 2015, harga penutupan sekitar US$ 23,55, dan pada 3 Desember 2015 tinggal hanya US$ 7,68 yang berarti harganya tinggal 1/3-nya saja.

Dengan menjadi perusahaan terbuka, maka PT FMI akan 'lebih mudah' bernegosiasi memperpanjang umur ekonomisnya dan atau mencari celah bisnis baru sehingga sustainable growth dapat terus diupayakan. Toh, kebaikan PT FMI secara langsung menjadi kebaikan pemerintah dan rakyat RI.

Kedua, pemerintah dapat menuntut lebih banyak lagi 'alih daya' dari PT FMI; sehingga keberadaannya sudah seperti 'anak kandung' karena memang dimiliki oleh publik. Tuntutan pemerintah agar local content PT FMI ditingkatkan akan lebih mudah dipenuhi. Pemasokpemasok kebutuhan PT FMI dapat saja industri lokal dan mungkin saja sebagai pemilik PT FMI melalui pasar modal.

Adanya 'hubungan batin' ini seyogianya mendorong birahi pemasok lokal untuk meningkatkan kemampuan memenuhi standar PT FMI sehingga tercipta simbiosis mutualisma. Melalui cara ini PT FMI telah melakukan naturalisasi, sehingga lambat laun, kesan PMA-nya dapat hilang karena keberadaannya sudah menjadi Indonesia.

Lihatlah produk consumer goods di masyarakat semisal Unilever, di mana masyarakat menggunakannya dan mungkin lupa (tidak pernah mempertanyakan) sesungguhnya perusahaan tersebut adalah PMA. Ketiga, mendidik secara tidak langsung masyarakat menjadi wirausaha. Dalam hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme kewajiban karyawan untuk menjadi pemegang saham (Employee Stock Opportunity Program/ESOP).

Kepemilikan saham oleh karyawan sebaiknya tidak gratis, bahkan jika perlu, diwajibkan saja untuk memiliki dengan biaya personal karyawan. Secara teoritis dan riset menunjukkan hal ini berdampak baik bagi kinerjaperusahaan dan tentunya karyawan itu sendiri.

Saya menganjurkan agar PT FMI memiliki buffer stock (saham yang dipegang), di mana secara bertahap dilepas untuk karyawan sebagai bagian dari kompensasi bonus atau kenaikan gaji karyawan. Setidaknya hal ini menghemat 'uang di tangan' yang mungkin menggoda karyawan menjadi lebih konsumtif; sehingga secara tidak langsung PT FMI mengubah perilaku karyawannya dari kuadran konsumtif menjadi kuadran investor.

Karyawan dengan perilaku investor, cenderung memiliki nilainilai kerja/hidup yang lebih baik. Beberapa isu yang terjadi, tentang ketidakmampuan karyawan 'melanjutkan' hidup setelah pensiun, juga disebabkan oleh ketidakmampuan karyawan tersebut mengelola uang yang dimilikinya saat bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun