Mohon tunggu...
Sahyoni
Sahyoni Mohon Tunggu... Pengajar dan Pemerhati Sosial

Rakyat Badarai

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Joyful Learning dalam Kurikulum Deep Learning, Mungkinkah?

8 Februari 2025   11:14 Diperbarui: 8 Februari 2025   11:14 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar di kelas (Dok. Pribadi)

Salah satu dari tiga fondasi utama dalam wacana kurikulum Deep Learning adalah pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning). Secara sederhana, konsep ini menekankan bahwa seluruh kegiatan belajar di kelas harus terasa menyenangkan, tidak membosankan, serta membuat siswa merasa nyaman dan tidak tertekan. Jika kurikulum ini benar-benar diterapkan, idealnya tidak akan ada lagi kesan bahwa sekolah itu membosankan, banyak tugas dan beban mental. Sebaliknya, guru mengajar dengan penuh semangat, sementara siswa menerima materi dengan antusias, merasa senang, dan tanpa tekanan. Untuk mencapai kondisi ideal tersebut, ada beberapa aspek penting yang perlu dipertimbangkan, seperti faktor psikologi, durasi tatap muka, dan pemberian tugas (PR).  

Memahami psikologi siswa

Dalam hal menerima pelajaran di kelas, faktor psikologi sangat mempengaruhi siswa. Jika siswa enjoy dan menikmati proses kegiatan belajar menagajar, maka materi akan mudah diserap. Susan Engel (2015) psikolog senior USA dalam risetnya mengatakan bahwa siswa bisa menyerap informasi yang kompleks, berpikir secara mendalam, dan menikmati buku bacaan jika mereka berada dalam kondisi enjoy dan jauh dari tekanan. Untuk itu, seorang pendidik mesti menciptakan atmosfir pembelajaran yang membuat peserta didik betah dan antusias terhadap materi yang disampaikan. Misalnya dengan membuat presentasi pembelajaran yang menarik, variatif dan outstanding, menggunakan media pembelajaran yang sesuai, dan menyampaikan materi dengan gaya yang fun dan bahasa yang mudah dipahami peserta didik. Guru tidak bisa lagi berlindung dibalik rumus "one size fits all" untuk keseluruhan kelas. Guru dapat memanfaatkan berbagai sumber di internet, seperti YouTube, Instagram, atau TikTok, untuk menemukan cara mengajar yang lebih menarik dan efektif. Semua platform ini menyediakan konten edukatif secara gratis dan dapat diakses kapan saja.

Durasi jam pelajaran

Mengacu pada Peraturan Menteri No 23 Tahun 2017 tentang hari sekolah, disebutkan bahwa sekolah 8 jam sehari dan 5 hari sekolah dalam satu minggu. Alokasi waktu ini perlu dipangkas menjadi lebih pendek dan menambah waktu istirahat sehingga siswa tidak merasa bosan. Kita mesti belajar ke negara-negara Skandinavia yang sukses dalam urusan pendidikan salah satunya Finlandia.  Mereka membuat alokasi waktu sekolah lebih singkat yakni 4-5 jam dalam satu hari dengan jumlah istirahat yang cukup bagi siswa. Dalam 60 menit tatap muka, 45 menit digunakan untuk menyampaikan materi dan 15 menit digunakan oleh siswa untuk istirahat. Pendekatan yang hampir sama juga diterapkan Jepang yang meminta siswa untuk tidur selama  15 menit di waktu jam istirahat mereka.

Pendekatan ini bukan tanpa alasan, melainkan bertujuan agar siswa tidak mudah bosan dan mampu menyerap pelajaran. Prof. Marty Lobdell, psikolog dari Pierce College, dalam bukunya Study Less, Study Smart, menyatakan bahwa otak manusia hanya efektif dalam menyimpan informasi dalam rentang waktu sekitar 30 menit. Lebih daripada itu sudah mulai terdistorsi yang membuat sulit konsentrasi sehingga butuh istirahat sejenak untuk recharge. Para siswa bisa tidur sejenak, bermain, mendengarkan musik, atau bersosialisasi dengan teman.

Mengurangi PR 

Pekerjaan rumah pada intinya bagus diterapkan untuk mendalami suatu materi tetapi mesti sesuai dengan porsi. Jangan sampai PR berubah fungsi dari "tambahan" menjadi tugas utama. Ada beberapa alasan yang mesti jadi pertimbangan terkait penugasan berupa PR. Pertama pemberian PR yang terlalu banyak menyebabkan stress yang bisa memicu kesehatan mental, berat badan berkurang atau gangguan tidur sebagaimana yang dilansir oleh Pressman dkk (2015) dalam The Amaerican Journal of Family Therapy. Kedua PR yang berlebihan "mengisolasi" siswa dari kegiatan sosial mereka seperti bermain dengan kawan, menyalurkan hoby dan mengembangkang skill mereka. Semakin banyak PR yang diberikan maka "ruh" dari joyful learning semakin hilang karena dibayang-bayangi oleh tagihan dari guru ketika masuk kelas. Apalagi jika semua guru memberikan PR di hari yang sama. Bukan suasana kelas yang menyenangkan yang didapat tetapi kelas yang menegangkan.

    Harapannya ketika kurikulum Deep Learning nanti diterapkan maka ruangan kelas sama menyenangkannya dengan  tempat piknik atau liburan  yang membuat para siswa betah, nyaman dan tentunya menyenangkan. Sehingga konsep joyful learning  dalam pembelajaran tidak hanya dimaknai sebagai kegiatan bermain TikTok antara guru dan murid saja. Tetapi ada value yang ingin diciptakan secara bersama ruangan kelas dan outcome yang berdampak jangka panjang ke depan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun