Kasus laporan terhadap Dr. Tifa, Roy Suryo ,Rismon CS Â sejatinya tidak tepat bila dipaksakan masuk ranah pidana. Ada beberapa alasan mendasar. Pertama, ijazah yang digunakan untuk mendaftar jabatan publik adalah dokumen publik. Artinya, masyarakat berhak meneliti dan mempertanyakan keasliannya. Kedua, posisi Dr. Tifa Cs adalah peneliti dan akademisi. Penelitian yang mereka lakukan berbasis data dan metodologi ilmiah, bukan fitnah. Ketiga, kegiatan mereka justru dilindungi undang-undang, baik oleh Pasal 28F UUD 1945 maupun UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Pasal 28F UUD 1945
"Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."
UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)
Beberapa pasal yang paling relevan:
Pasal 2 ayat (1):
"Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik."
Pasal 2 ayat (3):
"Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana."
Pasal 4 ayat (1):
"Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini."
Artinya: dokumen yang digunakan untuk menduduki jabatan publik (misalnya ijazah untuk mendaftar di KPU) masuk ke dalam kategori informasi publik yang boleh dipertanyakan oleh masyarakat.
Keempat, di banyak negara, penelitian serupa tidak pernah dikriminalisasi. Contohnya di Jerman, ketika seorang pejabat terbukti bermasalah dengan ijazahnya, penelitinya tidak dipenjara, justru pejabatnya yang mundur. Kelima, karena itu tidak ada unsur pidana dalam penelitian Dr. Tifa Cs. Justru jika dipaksakan ke pidana, hal itu bisa dianggap bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Keenam, riset ini juga dimaksudkan sebagai edukasi hukum dan kesadaran publik, agar rakyat paham haknya untuk menguji dokumen pejabat negara. Ketujuh, Dr. Tifa sendiri menegaskan sikapnya bukan permusuhan pribadi, melainkan optimisme dan dorongan moral-spiritual untuk perbaikan bangsa melalui kebenaran ilmiah.
Penting digarisbawahi, Dr. Tifa menolak jika disebut memiliki masalah personal dengan Jokowi. Ia menyatakan tidak ada konflik pribadi, justru beberapa kali menyampaikan kekhawatiran terhadap kondisi kesehatan Jokowi. Sikapnya semata-mata sebagai peneliti yang menjawab pertanyaan publik, bukan dendam atau perselisihan pribadi.
Dengan demikian, penelitian ini semestinya dipandang sebagai bagian dari kebebasan akademik dan tanggung jawab warga negara, bukan tindak pidana.
Dr. Tifa Cs menegaskan bahwa penelitian mengenai otentisitas ijazah Jokowi adalah kerja akademik yang sah dan dilindungi undang-undang. Karena sifatnya ilmiah, penelitian tidak bisa dihentikan oleh siapa pun, apalagi dipidanakan. Namun, soal publikasi hasil penelitian, Dr. Tifa menyatakan hanya ada satu pihak yang berhak meminta penghentian: Presiden Republik Indonesia.
Presiden dipandang sebagai "orang tua bangsa" yang memiliki otoritas moral tertinggi untuk menimbang apakah publikasi sebuah riset berpotensi menimbulkan gejolak atau membahayakan kelangsungan negara. Jika Presiden secara bijak meminta agar hasil penelitian tidak dipublikasikan demi menjaga stabilitas, Dr. Tifa Cs siap menghormatinya. Dengan begitu, penelitian tetap berjalan, kebenaran ilmiah tetap terjaga, dan kepentingan bangsa pun tetap dilindungi.
Jika kelak ijazah Jokowi terbukti tidak otentik, Dr. Tifa menekankan bahwa jalan terbaik bukanlah penghukuman semata, melainkan langkah moral yang lebih besar. Pertama, Jokowi diharapkan berani melakukan pertobatan pribadi, jujur mengakui kenyataan, dan tidak lagi menutupi fakta yang ada. Kedua, ia diharapkan menyampaikan permintaan maaf kepada rakyat Indonesia, sebab rakyatlah yang selama ini menaruh kepercayaan dan memberikan mandat kepemimpinan.
Ketiga, Dr. Tifa mendorong terjadinya rekonsiliasi nasional, agar persoalan ini tidak memecah belah bangsa, melainkan menjadi titik balik untuk belajar dan memperbaiki diri bersama. Keempat, ia berharap sejarah dapat mencatat Jokowi dengan martabat yang lebih terhormat, sebagai seorang pemimpin yang berani mengakui kesalahan, bukan sebagai sosok yang terus menyangkal hingga akhir hayatnya. Dengan cara itu, bangsa ini bisa melangkah maju dengan lebih dewasa dan bijaksana.
Sumber : https://youtu.be/XxZkn2jk9yI?si=EevIZyg-c3tHMoTk
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI