Farli duduk di ayunan, menatap Bu Wati. "Bu," katanya. "Farli tahu. Tapi Farli sudah senang sekarang."
"Kenapa Farli senang?"
Farli menunjuk ke langit senja, di mana layangan buatan tangan sedang menari anggun. Lalu ia menunjuk ke sepasang kakek-nenek yang sedang berjalan bergandengan tangan, tertawa kecil.
"Farli mungkin tidak bisa membaca tulisan, tapi Farli bisa membaca senja yang gratis dan cinta yang tidak pernah hilang itu, Bu," jelas Farli, nadanya tenang dan yakin. "Farli tidak butuh kata-kata untuk tahu kalau semuanya baik-baik saja."
Bu Yulia terdiam. Ia melihat air muka Farli yang selalu ceria, yang tidak pernah menunjukkan beban atau rasa malu akan kekurangannya. Ia sadar, meski Farli harus berjuang keras dengan literasi, ia sudah menguasai pelajaran yang jauh lebih penting: Literasi Hati.
Ia mungkin tidak lancar membaca cerita di buku, tapi Farli adalah satu-satunya anak di kelas yang selalu berhasil menulis cerita kebahagiaan setiap hari, tanpa perlu satu pun kata tertulis.
"Benar, Nak," kata Bu Yulia, tersenyum tulus. "Kamu benar sekali."
Farli melompat dari ayunan. "Mau lihat Farli berlomba lari melawan bayangan pohon, Bu? Farli jamin, Farli pasti menang!" ajak Farli ceria.
Dan di tengah senja yang indah itu, Farli berlari kencang. Ia tidak membaca, ia hanya hidup. Dan hidupnya selalu penuh dengan tawa dan sorakan gembira yang jauh lebih berarti dari sekadar deretan huruf di atas kertas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI