Benar saja, beberapa saat kemudian, burung pipit itu terbang cepat ke atap dan terdengar suara cicitan yang lebih keras, diikuti dengan suara kepakan sayap seolah terjadi 'perang kecil'.
Andini tertegun. "Bagaimana kau tahu?"
Farli tersenyum, senyum tulus yang membuat matanya berkerut. "Huruf di buku itu terlalu diam. Tapi suara burung ini bergerak dan bercerita lebih jelas, Risa."
Bagi Farli, alam adalah buku teksnya. Angin adalah kata kerja, daun yang gugur adalah kata sifat, dan matahari terbit adalah sebuah paragraf pembuka yang spektakuler setiap hari.
Warna Sepeda yang Terluka
Kebahagiaan Farli sering muncul dari momen-momen yang ia 'baca' melalui penglihatannya.
Ia punya sepeda tua berwarna merah cerah. Sepeda itu penuh lecet dan karat. Anak-anak lain mungkin akan malu. Tapi bagi Farli, lecet itu adalah tanda jasa sepedanya.
"Sepeda, kamu sudah hebat hari ini," bisik Farli sambil mengelap sadelnya. "Kamu memang tidak bisa mengeja, tapi kamu tahu jalan pulang lebih cepat daripada aku mencari alamat di peta."
Saat ia mengayuh sepeda itu, Farli tidak merasakan lelah. Ia merasakan kebebasan. Ia berteriak gembira saat sepedanya melompati lubang kecil di jalan tanah, merasakan cipratan air di kakinya. Ini adalah sensasi, bukan sebuah paragraf yang harus dipahami.
Suatu sore, saat ia sedang bermain sendirian di taman, Bu Wati, sang guru, menghampirinya.
"Farli," kata Bu Yulia lembut. "Kamu tahu kan, kamu harus lebih rajin membaca. Dunia ini butuh kata-kata."