Dunia Tanpa Kata yang Muram
Farli tidak suka buku. Atau lebih tepatnya, buku tidak suka padanya. Setiap kali ia mencoba membaca, huruf-huruf itu terasa seperti pasukan semut yang berlarian, membentuk formasi yang tidak pernah sama. Di kelas, saat teman-temannya lancar membaca dongeng, Farli akan merunduk, berpura-pura mengikat tali sepatu atau mencari pensil yang hilang.
Ia tahu ia sedikit berbeda. Guru kelasnya, Bu Yulia, sudah sering memberikan perhatian ekstra, tapi Farli tetap saja harus berusaha keras untuk mengeja satu kata saja.
Namun, satu hal yang tidak pernah terpengaruh oleh kerumitan huruf itu adalah kebahagiaan Farli.
Farli percaya, dunia tidak hanya terbuat dari kata-kata yang dicetak. Dunia terbuat dari bunyi, warna, dan rasa. Dan dalam hal itu, Farli adalah seorang profesor.
Pelajaran Bahasa Burung Pipit
Saat pelajaran membaca berlangsung, Farli akan duduk di dekat jendela. Ia tidak bisa memahami deretan kalimat di buku, tapi ia sangat memahami percakapan burung pipit di dahan pohon mangga.
Suatu pagi, seekor burung pipit hinggap di jendela. Farli mengamati gerak-geriknya.
"Dia sedang marah," bisik Farli pada bangku kosong di sebelahnya.
"Kenapa dia marah, Farli?" tanya Andini, teman sebangkunya yang sedang membaca Kisah Si Kancil.
"Lihat," kata Farli, menunjuk pipit itu. "Ekornya bergerak cepat, dan nadanya cicit-nya pendek-pendek. Itu artinya ia sedang berebut remah roti dengan temannya yang nakal di atap sana."