Judul Buku : Malioboro at Midnight
Pengarang : Skysphire
Penerbit : PT Bukune Kreatif Cipta
Cetakan : 31 Maret 2023
Kota Terbit : Jakarta
Tebal Buku : 430 halaman
Ada buku yang selesai dibaca begitu halaman terakhir ditutup. Namun, ada pula yang justru mulai hidup setelah itu meninggalkan jejak sunyi di kepala, mengendap pelan-pelan di dada. Malioboro at Midnight termasuk yang kedua. Kisahnya tak meledak, tak gegap gempita, tapi justru karena itulah ia memeluk diam-diam, menyentuh titik paling rapuh dari perasaan kehilangan yang tak terucap.
Cerita ini tumbuh dari keretakan yang sederhana: dua orang yang mencintai, tapi tidak bisa saling hadir sebagaimana mestinya. Di antara mereka, ada waktu yang tak pernah cukup, ada jarak yang tak pernah betul-betul dijembatani. Seperti Malioboro di malam hari terang tapi sepi, hidup tapi lengang hubungan mereka menyisakan pertanyaan: seberapa banyak yang bisa kita toleransi sebelum akhirnya merasa sendiri dalam sebuah hubungan?
Tokoh utamanya bukan perempuan yang keras kepala atau penuh ambisi. Ia biasa saja rapuh, lembut, dan terkadang terlalu diam. Tapi dari diamnya itulah kita mengenali kesedihan yang akrab. Perempuan ini tidak sedang mencari cinta baru, melainkan mencari dirinya sendiri yang entah sejak kapan mulai hilang. Dan di tengah perjalanannya, ia bertemu seseorang yang tidak langsung mengubah segalanya, tapi hadir sebagai jeda. Sebagai napas pelan di tengah sesak yang lama.
Yang membuat cerita ini terasa dekat mungkin bukan hanya latarnya yang familiar, Yogyakarta dengan malam-malam yang dingin dan jalan-jalan yang membawa kenangan melainkan perasaan-perasaan yang dibungkus dalam percakapan yang ringan tapi menggugah. Tidak selalu perlu konflik besar untuk membuat hati tercabik. Kadang, yang paling menyakitkan justru adalah ketidaksengajaan, hal-hal yang kecil tapi terus terjadi, hingga akhirnya menjadi beban yang tak tertanggungkan.
Tidak ada pahlawan dalam kisah ini. Tidak ada yang benar-benar salah, tidak pula yang sepenuhnya benar. Setiap tokoh hidup dalam pilihannya masing-masing. Mereka mencintai, tapi juga takut. Mereka ingin bertahan, tapi juga lelah. Dan mungkin, itu pula yang membuatnya begitu manusiawi. Karena bukankah kita pun sering berada di tengah ketidakpastian yang sama? Antara ingin pergi dan ingin tetap tinggal. Antara menjaga perasaan sendiri dan menjaga perasaan orang lain.
Malioboro at Midnight tidak berusaha memaksa pembacanya untuk merasa sesuatu. Ia hanya menyodorkan peristiwa demi peristiwa, membiarkan kita duduk di samping tokohnya, menyimak tanpa banyak bertanya. Ada kesunyian yang tak pernah sepenuhnya dijelaskan, ada luka yang tidak selalu diperlihatkan. Tapi kita tahu itu ada terasa dalam jeda, dalam kata-kata yang tak diucapkan, dalam tatapan yang tertinggal lebih lama dari seharusnya.
Mungkin yang membuat novel ini istimewa bukan karena ia mencoba menjadi luar biasa, tapi karena ia tulus. Tulus dalam cara menceritakan kehilangan. Tulus dalam menyampaikan bahwa tidak semua luka perlu dibalas dengan dendam, tidak semua kesedihan perlu disembuhkan. Ada kalanya kita hanya perlu diakui: bahwa kita pernah terluka. Bahwa kita pernah mencintai dengan sepenuh-penuhnya, meski tak selalu berakhir dengan baik.
Dan ketika cerita itu berakhir, tidak ada letupan. Tidak ada ledakan emosi. Hanya sunyi yang tenang. Seperti malam yang akhirnya kembali sepi setelah ramai sebentar. Seperti Malioboro setelah lewat tengah malam.
Penulis: Safira Aulia Zahra