Di tengah dunia yang semakin bising dengan suara-suara yang saling bersaing, gaya bicara seseorang dapat menjadi penentu bagaimana ia dipersepsikan oleh orang lain.
Dua kutub gaya komunikasi yang paling sering dibandingkan adalah soft spoken (orang yang berbicara dengan nada lembut dan tenang) dan hard spoken (mereka yang berbicara dengan nada tegas, keras, bahkan dominan).
Namun, mana yang lebih efektif? Apakah berbicara dengan lembut berarti lemah? Apakah berbicara dengan tegas otomatis berarti kuat?
Soft spoken bukan berarti pasif atau tidak percaya diri. Mereka biasanya memilih kata dengan hati-hati, berbicara pelan, dan memberikan kesan empatik serta sabar. Banyak tokoh inspiratif seperti Mahatma Gandhi atau Aung San Suu Kyi dikenal sebagai sosok yang soft spoken, namun memiliki pengaruh besar.
Sementara itu, hard spoken biasanya diasosiasikan dengan karakter yang tegas, lugas, dan tidak segan menaikkan volume suara demi memperjelas maksudnya. Gaya ini sering ditemukan dalam dunia militer, politik, atau kepemimpinan perusahaan besar.
Dalam psikologi komunikasi, gaya bicara seseorang mencerminkan aspek kepribadian dan kecerdasan emosionalnya. Mereka yang soft spoken cenderung memiliki tingkat empati dan pengendalian diri yang tinggi.
Dalam kehidupan sosial, soft spoken sering kali dianggap lebih menyenangkan untuk diajak bicara. Mereka mudah membuat orang merasa nyaman dan aman. Namun, di lingkungan yang agresif, mereka kerap diremehkan atau dianggap kurang tegas.
Suara yang lembut dan nada yang tenang bukan berarti mereka lemah, justru menjadi cerminan kemampuan untuk menahan diri, berpikir sebelum berbicara, serta memahami perasaan orang lain sebelum bereaksi.
Gaya ini sering membuat orang merasa aman dan nyaman saat berbincang, dan sangat efektif dalam membangun hubungan interpersonal yang sehat.
Sebaliknya, individu yang hard spoken menunjukkan karakteristik dominan. Hard spoken kerap diasosiasikan dengan otoritas dan ketegasan.Â