"Overthinking jam 3 pagi? Gak apa-apa, asal sambil scroll meme tentang overthinking juga."
Kalimat ini terdengar seperti lelucon ringan. Tapi bagi banyak Gen Z, ini adalah cermin kehidupan sehari-hari.
Di balik tawa dan emoji tertawa hingga menangis, generasi muda saat ini menghadirkan fenomena yang menggelitik sekaligus mengkhawatirkan: menjadikan luka mental sebagai bahan lelucon.
Meme tentang burnout, hingga sketsa satir soal kesehatan mental tak hanya menjadi hiburan, tapi juga cermin dari kenyataan psikologis yang tak bisa diabaikan.
Lalu, muncul pertanyaan: apakah semua ini hanya bentuk coping, atau sebenarnya sebuah panggilan minta tolong dalam bentuk yang bisa diterima sosial?
Coba buka media sosial hari ini, Instagram, TikTok, atau X dan ketik kata "overthinking", "depresi lucu", atau "mental health meme". Ratusan ribu konten akan muncul: seseorang membuat sketsa dirinya yang terlihat bahagia di luar tapi hancur di dalam, seseorang meletakkan overlay musik upbeat di atas narasi tentang serangan panik, atau video reaksi yang menyandingkan pengalaman trauma dengan ekspresi wajah dramatis yang disengaja.
Menurut psikolog klinis, Dr. Clara Wibisono, konten seperti ini bisa menjadi bentuk self-expression sekaligus social bonding.
"Bagi Gen Z, membuat konten semacam itu bukan berarti mereka tak serius dengan kesehatan mental mereka. Justru sebaliknya, mereka menormalkan pembicaraan soal itu lewat cara yang relevan dengan budaya digital mereka," ujarnya.
Namun, batas antara ekspresi dan permintaan bantuan sering kali kabur.
Dalam psikologi, coping mechanism adalah strategi yang digunakan seseorang untuk menghadapi stres atau trauma. Dalam konteks Gen Z, menciptakan dan mengonsumsi konten lucu tentang kondisi mental bisa jadi cara untuk menertawakan luka sebelum luka itu melumpuhkan.