Mohon tunggu...
Saeran Samsidi
Saeran Samsidi Mohon Tunggu... Guru - Selamat Datang di Profil Saya

Minat dengan karya tulis seperi Puisi, Cerpen, dan karya fiksi lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyingkap Para Penyair dan Penulis Keturunan Tionghoa dari Purwokerto

10 Januari 2021   16:46 Diperbarui: 10 Januari 2021   16:49 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyingkap para Penyair dan Penulis

Keturunan Tionghoa dari Purwokerto

Medsos dibanjiri ucapan duka dan belasungkawa para penyair komunitas sastra di Banyumas atas meninggalnya penyair Ahita Teguh Susilo alias Liong Njuk Hie. Lahir di Purwokerto, 31 Agustus 1953 dan meninggal dunia Rabu 16 Desember 2020 dimakamkan di Pemakaman Munthang Purwokerto Selatan.

Bukan saja para penyair Banyumas yang berbelasungkawa, koleganya sesama penyair yang tergabung dalam Komunitas Negeri Poci yang dimotori oleh Kurniawan Junaedi alias Yap Ban Jun sehabat seangkatan yang juga dari  Purwokerto ikut sangseng ke pemakamnya. .

Liong Njuk Hie, Yap Ban Jun, Oey Swan Lian dan Frans Kowa adalah para penulis keturunan Tionghoa yang berasal dari Purwokerto yang mengharumkan jagat sastra dan kepenulisan nasional. Mereka bergiat di jalur sastra, jurnalistik dan sukses di Jakarta. Hanya Ahie yang fokus sebagai penyair dan tetap tinggal di kampung kelahirannya.

Lelaki yang sederhana, lugu dan rendah hati ini mulai menulis sekitar tahun 1973. Setamat SMAN 2 Purwokerto ia bekerja di Toko Buku Kenari sehingga banyak membaca dan mulailah menulis puisi, esai dll. yang dimuat di Kompas, Sinar Harapan, Buana Minggu dll. Buku-buku puisinya antara lain Lagu Hijau (1974), Syair Mawar (1975), Ekstase (1977). Beberapa antologi puisi, diantaranya, Puisi Sang Peneroka (2014), Metamoforsis (2015),   Cinta Magenta (2015).

Mendirikan Sanggar Pelangi bersama Dharmadi, Herman Affandi, Asfahani, Kunanto

Kunanto (1971). Tahun 1974 mendirikan Himpunan Penulis Muda (HPM) Purwokerto bersama Dharmadi, Hermann Affandi, Asfahani, Kunanto, Wahyu Mandoko, Didi Wahyu, Hendaryun, Anton-van mess-Suparno, Edhi-bagong-Wahono, Mujimanto, Sugeng Pamuji dan beberapa teman lainnya..

Berikut kesan koleganya, Hendrawan seorang penyair dan dokter yang kerap ke Purwokerto untuk menemui Ahi dan Ban Jun. Sebagai penyair, seingat saya, Ahita lebih suka mendekam di kota kelahirannya, Purwokerto. Sekolah ternyata tidak menunjukkan kelas. Walau mengaku hanya lulus SMA, Ahita terbilang cerdas. Terasakan puisinya saya kira berkelas. Begitu juga dengan tulisannya, esai, dan ulasannya. Tapi Ahi, begitu kami memanggilnya, tetap menyendiri, dan kurang intim berfoto.

Kurniawan Junaedhie

Ban Jun, panggilannya. Menulis sejak masih di SMA Kristen Purwokerto lahir di Magelang, Jawa Tengah, 24 November 1956. Saat itu tahun 1974 ia sering memotivasi saya untuk menulis. Menulis apa saja bisa jadi duit katanya. Masa itu saya sering ngendhong ke rumahnya, Toko Buku Kurnia di Bantarsoka sebelah timur pintu kereta api. Gara-gara balita anak saudaranya belum bisa jalan lalu diberi minum obat penguat tulang lalu bisa berjalan, kejadian itu dibuat artikel ke majalah, dimuat dan dapat honor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun