Â
Ada sesuatu yang ajaib ketika sebuah drama Korea tidak hanya menghibur mata dengan kisah romantisnya, tetapi juga menggoda lidah penonton dengan hidangan yang tampil begitu nyata di layar. Bon Apptit, Your Majesty adalah salah satunya. Drama ini bercerita tentang seorang raja muda yang secara tidak sengaja terlempar ke masa kini, lalu menemukan dunia modern yang serba cepat, penuh distraksi, namun juga... penuh rasa. Bukan hanya rasa cinta, tetapi juga rasa dalam arti yang sesungguhnya---dari makanan yang ia santap bersama orang-orang baru yang ia temui.
Sejak episode pertama, saya dibuat jatuh cinta bukan hanya pada karakternya, tetapi juga pada suasana hangat yang muncul setiap kali makanan disajikan. Ada adegan ketika sang raja pertama kali mencicipi pajeon---pancake gurih Korea dengan taburan daun bawang dan kadang ditambah seafood. Wajahnya berbinar, seperti seorang anak kecil yang baru pertama kali menemukan mainan favoritnya. Adegan sederhana itu justru membuat saya berhenti sejenak, mengingat kembali betapa makanan sering menjadi jembatan antarbudaya, bahkan antarwaktu.
Kemudian ada samgyetang, sup ayam ginseng yang direbus lama hingga kuahnya bening, penuh aroma rempah, dan dipercaya mengembalikan tenaga. Dalam drama, samgyetang hadir pada momen intim: seseorang memasakkan hidangan ini untuk sang raja, bukan sekadar sebagai makanan, melainkan tanda kasih sayang yang tulus. Dari situ saya mulai merasa: drama ini tidak hanya soal cinta antar manusia, tetapi juga tentang cinta yang tersaji dalam sepiring makanan.
Tapi bukan hanya hidangan yang membuat drama ini berkesan. Melihat seorang raja yang terbiasa hidup di istana tiba-tiba harus melihat smartphone, hingga tas yang dibawa oleh Yeon Ji-Yeong (diperankan Im Yoong Ah) ke masa kerajaan Joseon, menghadirkan humor segar sekaligus refleksi. Adegan-adegan kecil---seperti ketika ia menolak ramen instan karena baunya terlalu asing, lalu akhirnya jatuh cinta pada kehangatannya---membuat penonton tersenyum sekaligus berpikir. Bukankah begitu juga kita saat mencoba kuliner baru dari budaya lain? Ada penolakan awal, ada rasa heran, tapi lama-lama kita menemukan keakraban.
Dan anehnya, setiap kali melihat pajeon dan samgyetang di layar, ingatan saya justru melayang ke Jakarta Selatan---bukan ke restoran mewah Korea, melainkan ke meja sederhana kaki lima tempat saya singgah untuk sekadar menikmati hidangan khas Indonesia. Ada satu warung di bilangan Blok M yang selalu ramai. Di sana, bau minyak goreng yang baru panas bercampur dengan suara spatula beradu di wajan. Saya memesan martabak telur, yang dengan cara tertentu mengingatkan saya pada pajeon. Keduanya sama-sama gurih, digoreng tipis, renyah di luar namun lembut di dalam, dan selalu nikmat dinikmati bersama teman.
Lalu, ketika drama menampilkan samgyetang, saya teringat pada sop ayam kampung di dekat rumah. Kuahnya bening, penuh aroma bawang putih, jahe, dan seledri. Tidak ada ginseng di sana, tetapi kehangatannya sama: menyembuhkan badan yang lelah sekaligus menenangkan hati. Di momen itu saya tersadar, makanan adalah bahasa universal. Pajeon bisa saya hubungkan dengan martabak telur, dan samgyetang bisa saya sandingkan dengan sop ayam atau bahkan soto Betawi yang kaya rempah. Bahkan, ketika melihat kimchi muncul sekilas dalam drama, saya langsung teringat pada asinan Betawi---sama-sama segar, asam, pedas, dan jadi pendamping wajib setiap hidangan berat.
Salah satu kekuatan Bon Apptit, Your Majesty yang tayang di Netflix sejak 23 Agustus 2025 ini adalah kemampuannya memadukan dua hal yang jarang dipasangkan: kisah fantasi kerajaan dan kuliner. Biasanya, drama sejarah menekankan politik dan intrik, sementara drama kuliner menyorot dapur dan resep. Tapi di sini, keduanya berjalan beriringan. Penonton diajak merasakan kejanggalan seorang raja yang bingung menghadapi dunia modern, lalu melihat bagaimana ia menemukan kedamaian lewat makanan sederhana.
Kelebihan lain adalah visualisasi makanan. Setiap adegan memasak dan menyantap makanan dibuat dengan sinematografi yang detail. Kamera memperlambat momen ketika kuah dituangkan, atau ketika uap panas naik dari mangkuk. Saya pernah menonton drama yang juga menampilkan makanan, tapi sering terasa seperti iklan. Di sini, tidak. Makanan hadir sebagai bagian dari emosi: pajeon bukan sekadar camilan, melainkan simbol kebersamaan. Samgyetang bukan sekadar sup, melainkan ungkapan perhatian.
Selain itu, pembangunan karakter terasa cukup kuat. Sang raja digambarkan bukan hanya gagah dan berwibawa, tetapi juga rentan, kebingungan, dan kadang konyol ketika menghadapi dunia baru. Lawan mainnya pun tidak hanya jadi "pemanis", tapi membawa konflik internal: bagaimana menerima orang asing yang tiba-tiba hadir, dan bagaimana belajar membuka hati melalui momen sederhana di meja makan.
Drama ini juga menyuguhkan nuansa romantis yang lembut, berbeda dari drama-drama populer yang sering menekankan konflik cinta segitiga. Romansa dalam Bon Apptit, Your Majesty tumbuh pelan, seperti adonan pajeon yang dipanggang dengan sabar, hingga akhirnya matang sempurna.
Namun, drama ini juga punya kelemahan. Alurnya di pertengahan episode agak melambat. Ada bagian di mana kisah cinta terasa repetitif, seolah hanya mengulang dialog tanpa kemajuan signifikan. Penonton yang terbiasa dengan drama cepat bisa merasa bosan.
Konflik utama juga terkesan kurang tajam. Drama ini lebih banyak menekankan suasana hati, interaksi lembut, dan kehangatan, sehingga bagi sebagian orang mungkin terasa terlalu ringan. Mereka yang mencari ketegangan atau drama besar mungkin merasa kurang terpuaskan.
Selain itu, meskipun visual makanan ditampilkan memikat, ada kalanya terasa overused. Beberapa penonton mungkin bertanya: apakah semua adegan harus berpusat di meja makan? Bagi saya pribadi, itu bukan masalah, tapi saya bisa memahami bila ada yang merasa terlalu bertele-tele.
Jika dibandingkan dengan drama lain bertema makanan seperti Let's Eat yang penuh keceriaan modern, atau drama fantasi seperti Rooftop Prince yang sarat intrik, Bon Apptit, Your Majesty berdiri di tengah: hangat, tenang, penuh rasa, tapi tidak selalu menegangkan. Itu kelebihan sekaligus kelemahan---tergantung dari apa yang dicari penonton.
Meski begitu, kelemahan itu tidak serta-merta membuat drama ini gagal. Justru, dengan ritme yang pelan, Bon Apptit, Your Majesty memberi kesempatan pada penonton untuk berhenti sejenak, bernapas, dan merasakan. Di dunia yang serba cepat, drama ini seperti jeda: seperti semangkuk sop ayam hangat di malam hujan, sederhana tapi menenangkan.
Dari sisi sinematografi, drama ini berhasil membuat makanan tampil seperti bintang utama. Kamera sering menyorot detil: uap panas yang naik dari mangkuk, tetes kuah yang jatuh pelan, atau potongan sayur yang masih segar. Semua itu membuat saya hampir bisa mencium aromanya. Tapi di balik estetika visual, yang paling kuat adalah emosi. Drama ini tahu bagaimana membuat makanan menjadi bagian dari narasi, bukan sekadar tempelan.
Menonton drama ini seperti duduk di meja makan panjang bersama keluarga besar. Ada tawa, ada canda, ada diam, ada rasa yang sulit dijelaskan. Dan saat layar menampilkan pajeon atau samgyetang, saya merasakan nostalgia: tentang malam-malam hujan di Jakarta ketika saya menyantap gorengan di pinggir jalan, atau tentang pagi Minggu ketika ibu memasakkan sop ayam kampung sebagai penghangat badan.
Akhirnya, bagi saya Bon Apptit, Your Majesty bukan hanya sebuah drama romansa fantasi. Ia adalah pengingat bahwa makanan adalah jembatan---antara masa lalu dan masa kini, antara Korea dan Indonesia, antara layar kaca dan kehidupan nyata.
Jika pajeon bisa mengingatkan saya pada martabak telur, samgyetang pada sop ayam kampung atau soto Betawi, dan kimchi pada asinan Betawi, maka drama ini sudah berhasil: ia membuat saya menemukan bagian diri saya sendiri di dalam kisah yang berasal dari budaya lain.
Bukankah itu inti dari sebuah cerita yang baik? Bukan hanya menghibur, tetapi juga membangkitkan rasa---rasa lapar, rasa hangat, rasa cinta, dan rasa keterhubungan sebagai manusia. Bon Apptit, Your Majesty bukan hanya tontonan, melainkan juga santapan jiwa---seperti hidangan hangat yang membuat kita pulang, meski hanya lewat layar kaca
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI