Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Penulis

Geopolitics, Democracy, Activism, Politics, Law, and Social Culture.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Analisis Yuridis dan Sosial Tindak Pidana Cyberbullying

3 Juli 2025   16:59 Diperbarui: 3 Juli 2025   16:59 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi Cyberbullying (Sumber Gambar: Okezone Celebrity)

Perkembangan teknologi informasi yang pesat telah membawa perubahan besar dalam interaksi sosial masyarakat, termasuk dalam cara seseorang menyampaikan pendapat atau mengekspresikan emosi melalui media digital. Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul berbagai bentuk kejahatan baru, salah satunya adalah cyberbullying.

Cyberbullying merujuk pada tindakan intimidasi, pelecehan, penghinaan, atau ancaman yang dilakukan melalui media elektronik seperti media sosial, pesan instan, atau email. Fenomena ini tidak lagi menjadi isu marginal, melainkan telah menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian hukum dan sosial yang komprehensif.

Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika RI tahun 2024, lebih dari 45% remaja Indonesia pernah mengalami cyberbullying, dengan platform paling dominan adalah Instagram, TikTok, dan WhatsApp. Data ini menunjukkan bahwa perundungan siber bukan hanya menjadi gejala sosial, tetapi juga menimbulkan dampak psikologis, hukum, dan kultural yang signifikan.

Dari segi yuridis, cyberbullying telah mendapat pengaturan dalam sistem hukum Indonesia, meskipun masih bersifat fragmentaris. Instrumen hukum utama yang digunakan untuk menjerat pelaku cyberbullying adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang telah diperbarui melalui UU No. 19 Tahun 2016. Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dapat dikenai sanksi pidana.

Selain itu, Pasal 29 UU ITE juga mengatur mengenai ancaman kekerasan atau menakut-nakuti secara pribadi melalui sistem elektronik. Meskipun pasal-pasal tersebut tidak secara eksplisit menyebut istilah "cyberbullying", substansi perbuatan yang dilarang telah mencakup elemen-elemen utama dari cyberbullying. Namun demikian, kelemahan dari pendekatan ini adalah adanya potensi multitafsir serta tumpang tindih dengan KUHP, khususnya dalam pasal-pasal penghinaan, fitnah, dan pengancaman.

Kritik utama terhadap pendekatan yuridis di Indonesia adalah tidak adanya satu pengaturan khusus yang secara langsung mendefinisikan dan mengatur cyberbullying sebagai tindak pidana tersendiri. Hal ini berbeda dengan beberapa negara seperti Filipina yang telah mengesahkan Anti-Bullying Act of 2013 yang secara eksplisit mencakup bullying berbasis teknologi. Di Amerika Serikat, meskipun pengaturannya berbeda antar negara bagian, banyak yurisdiksi telah memasukkan cyberbullying ke dalam sistem hukum pidana anak atau hukum pidana umum.

Di sisi lain, dalam sistem hukum Indonesia, penegakan hukum terhadap cyberbullying kerap terhambat karena beban pembuktian yang tinggi dan kurangnya kapasitas aparat penegak hukum dalam mendeteksi dan menelusuri bukti digital. Padahal, banyak kasus cyberbullying tidak berhenti pada pelecehan verbal, melainkan bisa menjurus pada doxing (pembocoran data pribadi), penyebaran konten asusila, hingga ancaman fisik yang berdampak pada keselamatan korban.

Dari perspektif sosiologis, cyberbullying merupakan gejala sosial yang muncul akibat ketidaksiapan masyarakat dalam beradaptasi dengan perubahan digital. Ketika media sosial menjadi ruang publik baru, nilai-nilai etik dan sopan santun dalam berkomunikasi kerap diabaikan. Studi UNICEF Indonesia (2023) menunjukkan bahwa sekitar 60% remaja pengguna media sosial menyatakan bahwa mereka merasa bebas berkata apa saja di internet karena merasa aman dari sanksi sosial atau hukum.

Anonimitas dan kurangnya pengawasan di dunia maya memberikan ruang bagi individu untuk melakukan tindakan-tindakan menyakitkan tanpa menyadari atau peduli terhadap dampaknya bagi korban. Korban cyberbullying, terutama remaja, cenderung mengalami tekanan psikologis yang berat, seperti depresi, gangguan kecemasan, hingga keinginan bunuh diri. Kasus bunuh diri yang menimpa remaja asal Jakarta pada awal 2024 akibat perundungan siber membuktikan betapa serius dampak sosial dari fenomena ini.

Dalam struktur sosial masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi kehormatan dan martabat pribadi, cyberbullying bukan hanya menyangkut harga diri individu, tetapi juga mencederai norma kolektif. Akibatnya, korban sering kali mengalami tekanan ganda: dari pelaku dan dari lingkungan sosial yang justru menyalahkan atau mengucilkan mereka. Kecenderungan ini diperparah dengan rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun