Pendidikan Modern tidak hanya menekankan prestasi akademik, tetapi juga membutuhkan keseimbangan sosial-emosional siswa. Untuk mengukur dan memahami dinamika sosial siswa, seperti kontrol emosi, kerja sama, ketrampilan komunikasi, dan empati, evaluasi sosial non-kognitif sangat berguna. Proses pembelajaran yang dikombinasikan dengan nilai-nilai kehidupan sosial sangat mempengaruhi pembentukan karakter dan kompetensi sosial siswa, menurut Susanto (2016). Dalam praktik layanan bimbingan sosial, penilaian sosial non-kognitif berfungsi sebagai dasar untuk merancang program yang sesuai dengan perkembangan dan kondisi peserta didik. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji hasil penilaian ini pada dua siswa sekolah dasar dan memberikan analisis dan saran berdasarkan temuan ini.
Siswa menggunakan lembar instrument ceklis penilaian sosial non-kognitif dengan   pilihan ganda "Ya" dan "Tidak" selama penilaian. Siswa mengisi instrument ini secara langsung sesuai dengan pengalaman dan pemikiran mereka. Subjek yang dinilai
Meliputi:
- Abi     ( kelas 2 SD)
- Gibran  (kelas 5 SD)
Kelas dua yang berfokus pada pengembangan perilaku sosial dasar dan yang kelas lima berfokus dengan pemahaman sosial yang lebih kompleks dan kemampuan mengelola konflik. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah pendekatan deskriptif kuantitatif, dan penekanan utamanya adalah untuk menginterprestasikan hasil jawaban siswa. Hal ini selaras dengan pedoman formatif untuk asesmen Pendidikan yang dijelaskan oleh Syah (2017).
Hasil asesmen siswa kelas dua
Abi menunjukan kecenderungan positif pada Sebagian besar indikator sosial, seperti
- Suka bermain dan belajar bersama teman
- Menyapa teman dan guru
- Berbagi alat tulis dan mainan
- Menolong teman
- Meminta maaf
- Mendengarkan guru
- Merasa nyaman di sekolah
- Dapat bekerja sama saat kelompok
Namun, Ketika ditanya tentang kemampuan mengantri dengan tertib, ia menjawab, "Tidak". Ini menunjukkan bahwa kontrol diri dalam konteks sosial tertentu masih berkembang. Dimana ia tidak dapat mengantri dengan tertib Seperti yang dinyatakan oleh Gunarsa (2018), anak-anak usia dini masih membutuhkan banyak bimbingan dalam hal penerapan norma sosial dan pengendalian diri.
Hasil asesmen siswa kelas lima
Sementara itu Gibran yang berada di kelas lima menjawab "Ya" untuk semua pertanyaan yang mencakup:
- Memahami perasaan teman
- Menyelesaikan konflik secara damai
- Nyaman bekerja dalam kelompok
- Berani meminta maaf lebih dulu jika membuat kesalahan
- Menghargai Keputusan bersama
- Memberikan saran secara sopan
- Mendengarkan pendapat teman
- Dapat menjadi penengah saat teman terjadi konflik
Hal ini menunjukkan kematangan dalam mengatur hubungan sosial dan emosi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Nurhidayati pada tahun 2019 menemukan bahwa siswa sekolah dasar yang aktif berpartisipasi dalam kegiatan sosial menunjukkan empati dan kaloborasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang tidak berpartisipasi. Namun, ada jawaban Gibran dalam asesmen dan apa yang terjadi disekolah, yaitu ia mengalami kesulitan untuk mengendalikan diri saat marah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ia tahu pentingnya mengendalikan emosi dengan berfikir, ia masih menghadapi masalah dalam kehidupan nyata. Ini masuk akal untuk anak-anak di akhir sekolah dasar karena mereka masih dalam proses memahami prinsip dan pengendalian emosi yang konsisten.
Menurut analisis perbandingan, terdapat perbedaan signifikan antara ketrampilan sosial anak kelas rendah dan kelas tinggi. Anak kelas dua masih cenderung mengembangkan ketrampilan dasar sosial melalui pengamatan dan pembiasaan, sementara anak kelas lima telah mulai menggunakan strategi seperti empati, penyelesaian konflik, dan kerja sama kelompok dengan lebih baik.