Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membaca Muhammad ala Hazleton

3 Januari 2023   07:47 Diperbarui: 3 Januari 2023   08:31 1190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pustaka Alvabet

Ajaran Muhammad akan segera mendapat banyak simpatisan diam-diam, utamanya dari orang-orang yang posisinya tidak diuntungkan di dalam masyarakat, yaitu mereka yang tak punya kekuasaan maka cenderung tak bernilai. Sebaliknya, apa yang dibawa Muhammad seringkali merupakan protes terhadap praktik-praktik penguasa Mekah, menjadikan superioritas suku mereka untuk bersikap diskriminatif. Tuhan-tuhan selain Allah menjadi instrumen dalam meraup keuntungan baik dari segi ekonomi maupun kekuasaan.

"Laa ilaaha illallah", tiada Tuhan selain Allah, tidak saja bermakna memerangi kemusyrikan karena penyembahan Tuhan yang lain, tetapi juga berarti melawan ketidakadilan akibat kesewenang-wenangan pembesar-pembesar Quraisy. Meski awalnya dakwah di Mekah, demikian Hazleton, Muhammad masih bagaikan Mahatma Gandhi, melawan tanpa kekerasan.

Ketika hijrah pun, ketimbang tanda kenabian yang dibaca ada pada diri sang Nabi, penerimaan kehadiran Muhammad di Madinah lebih besar karena kemampuannya dalam mendamaikan suku Aus dan Khazraj, dua suku besar di Yastrib (nama selain Madinah) yang terkenal sering berpecah dan sulit didamaikan.

Di sinilah rupanya, di Madinah, manusia bernama Muhammad itu memperlihatkan dirinya sebagai manusia yang punya akal yang cemerlang serta insting yang tajam. Ketika akan menjamu pasukan Mekah di Badar, Muhammad tahu waktu (timing) yang tepat memasuki medan itu, sehingga pasukan pimpinan Abu Sufyan sudah jenuh duluan dan berbalik arah karena tak mendapati tanda-tanda pasukan Muhammad bakal datang.

Sebaliknya, pasukan Muhammad baru memasuki Badar dan segera menguasai pusat air bersih untuk menunggu pasukan Mekah selanjutnya di bawah komando Abu Jahal. Kedua watak pasukan Mekah ini berbeda. Abu Sufyan lebih suka mengandalkan perhitungan, lebih rasional--dan perhitungan itulah rupanya yang membuat Abu Sufyan berbalik arah--ketimbang Abu Jahal yang emosian dan cenderung gegabah.

Padahal pasukan Muhammad tak lebih dari tiga ratusan orang, namun dengan segera berhasil mematahkan pasukan Abu Jahal yang berjumlah seribu orang itu. Dia sendiri--Abu Jahal--tewas. Di sini Muhammad berhasil menggunakan prinsip jika tak unggul dalam hal kuantitas, maka harus unggul dalam hal kualitas.

Prinsip itu sekali lagi diuji pada perang Uhud. Kemenangan berpihak pada pasukan muslim walau dalam jumlah hampir sepersepuluh (kalau saja Hazleton benar) dari pasukan Abu Sufyan--seandainya saja pasukan pemanah di bukit menaati perintah Nabi. Muhammad mengandalkan strategi, pasukan Abu Sufyan hanya boleh datang dari depan. Caranya? Mereka membelakangi gunung Uhud, mengikuti bekas aliran lava yang sudah mengering. Sambil pasukan pemanah memback-up dari atas.

Prinsip, atau lebih tepatnya seni berperang Muhammad akhirnya cocok dengan strategi ala Sun Tzu bahwa "perang adalah penipuan". Indikasi ini yang terjadi pada perang Khandak, atau dalam sejarah dikenal dengan "perang parit". Abu Sufyan menanggapi ini, demikian Hazleton, sebagai kecurangan, melanggar tradisi berperang orang-orang Arab yang selama ini secara jantan berhadap-hadapan. 

Hal yang mencolok, perang Khandak dalam sejarah yang ada disanjung sebagai kemodernan dengan Salman Al-Farisi sebagai ikonnya. Tetapi bagi Hazleton parit itu tak banyak membantu, perang itu memakan korban tak lebih dari sepuluh di pihak musuh. Namun begitu, menggali parit adalah hal baru dari produk akal manusia dalam perang Arab.

Tetapi serangkaian perang yang dikisahkan tidak selamanya tanpa perpecahan internal. Kekalahan di Uhud saja bisa dikata ada pengaruhnya dengan sepasukan pimpinan Ibnu Ubay dari Bani Nadir--salah satu suku Yahudi--yang enggan mengikuti pasukan Nabi, yang katanya terdiri dari pemuda-pemuda bersemangat tanpa perhitungan itu. Lalu sebagai pemimpin--di samping sebagai nabi--Muhammad mesti memberi pelajaran, kalau tidak, ketidaktaatan bisa menjalar ke yang lainnya. Sesuatu yang tak boleh dibiarkan.

Pelajaran yang diberikan adalah perkebunan kurma milik Bani Nadir yang merupakan sumber penghidupan mereka ditebang. Sebelumnya suku Yahudi yang lain, Bani Qaynuqa, juga telah diberi pelajaran dengan cara diusir sebab berani melangkahi Nabi dalam memutuskan suatu perkara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun