Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Membaca Muhammad ala Hazleton

3 Januari 2023   07:47 Diperbarui: 3 Januari 2023   08:31 1189 0
Dr. Raghib Al-Sirjani sesungguhnya telah menulis sebuah buku tipis berjudul "Lasna fi Zaman Abrahah", bukan zaman Abrahah. Buku yang menganjurkan untuk membuang jauh-jauh imajinasi tentang keajaiban (yang bersifat supranatural) dimulai sejak zaman Nabi Muhammad (saw). Bahwa zaman ketika pasukan Abrahah diguyur batu-batu api dari langit merupakan akhir dari adanya intervensi kekuatan gaib dalam takdir manusia.

Sebuah tantangan tersendiri, sebab seorang nabi butuh mukjizat demi membuktikan kenabiannya. Lalu bagaimanakah membuktikan kenabian tanpa keajaiban sebagaimana mukjizat nabi-nabi terdahulu? Adakah umat yang jahiliah itu akan percaya?

Jalannya adalah dengan mengubah paradigma akan mukjizat atau keajaiban. Kemampuan berpikir dan bertindak rasional di antara segala bentuk irasionalitas di zamannya tentu adalah suatu keajaiban. Maka dari itu, mukjizat Muhammad adalah Al-Qur'an, yang letak keajaibannya adalah dengan percaya dirinya senantiasa menantang akal manusia untuk berpikir.

Mukjizat Al-Qur'an bersifat aqliyah (yang berhubungan dengan rasionalitas)--bukan hissiyah (bersifat fisik), demikian komentar Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitabnya "Al-Itqan fi Ulumil Qur'an", cocok dengan Nabi Muhammad yang senantiasa berkutat dengan kerasionalan, atau hidup berdasarkan akal sehat.

Namun, sejarawan mainstream dari pihak sendiri kelihatannya masih mengarahkan sejarah Muhammad berdasarkan selipan unsur-unsur mistik. Dalam pengertian ini, Muhammad adalah tokoh sejarah yang kehendaknya diarahkan sepenuhnya oleh sang maha Gaib. Selalu ada intervensi supranatural pada setiap tindakan yang akan diwujudkannya. Akhirnya Muhammad dikesankan tak punya kehendak lebih selain menuruti wahyu belaka (salah satu dampak dari penafsiran secara terkstual akan dalil, "Wa maa yantiqu anil hawa ...").

Ada cara pandang lain, di sini saya mengajukan Lesley Hazleton yang menulis buku "The First Muslim: The Story of Muhammad", yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Alvabet menjadi "Pribadi Muhammad: Riwayat Hidup Sang Nabi dalam Bingkai Sejarah, Politik, Agama, dan Psikologi".

Testimoni pada halaman-halaman awal buku itu sudah memberikan bayangan, bahwa kelak Hazleton akan membuat Muhammad jauh dari kesan dikultuskan, atau diceritakan secara apologik sebagai manusia ilahi. Muhammad malah ditampilkan sebagai manusia pada umumnya yang bukan hanya berupaya maksimal memberdayakan akalnya, tetapi juga memang manusia yang punya insting (jika keberatan dengan istilah insting, maka boleh kita ganti dengan istilah fitrah dalam pengertian Muthahhari) yang tajam. Baik secara politik, strategi dan taktik berperang, maupun dalam hal seni memainkan emosi publik.

Cara pandang Hazleton sendiri dalam hal ini tampaknya sesuai dengan apa yang diyakini oleh Gadamer sebagai manusia modern (abad ke-20)--dengan segala cara pandangnya--yang memahami kehidupan di abad ke-7. Hazleton tidak hadir untuk merekonstruksi makna asli dari zaman itu, melainkan hadir untuk mempresentasikan peleburan horizon antara Hazleton dan zaman Muhammad. Jadilah buku itu mudah kita maklumi dalam imajinasi kita yang senantiasa menuntut kerasionalan ini.

Hazleton mengawali kisah Muhammad dengan dualitas identitas, yang juga merupakan perangainya. Muhammad kecil berasal dari suku Quraisy--suku paling terhormat kala itu--namun di sisi lain ia adalah anak yang tumbuh dalam kebiasaan-kebiasaan suku Badui, suku pinggiran yang kehidupannya cukup ekstrim (Muhammad disusui oleh Halimah As-Sa'diyah, di wilayah pedalaman suku Badui, Muhammad di tangannya selama 5 tahun). Dalam terang Hazleton, Muhammad adalah "bagian dari 'mereka' sekaligus bukan bagian dari 'mereka' (Quraisy)".

Dualitas ini juga yang akan menentukan perjalan Muhammad berikutnya hingga akhir hayat. Bahkan dualitas ini yang akan mendorong ciri utama ajaran yang dibawanya, yaitu kesetaraan, keadilan; membela kaum tertindas dan menentang segala bentuk kekuasaan berdasarkan superioritas kesukuan.

Ajaran Muhammad akan segera mendapat banyak simpatisan diam-diam, utamanya dari orang-orang yang posisinya tidak diuntungkan di dalam masyarakat, yaitu mereka yang tak punya kekuasaan maka cenderung tak bernilai. Sebaliknya, apa yang dibawa Muhammad seringkali merupakan protes terhadap praktik-praktik penguasa Mekah, menjadikan superioritas suku mereka untuk bersikap diskriminatif. Tuhan-tuhan selain Allah menjadi instrumen dalam meraup keuntungan baik dari segi ekonomi maupun kekuasaan.

"Laa ilaaha illallah", tiada Tuhan selain Allah, tidak saja bermakna memerangi kemusyrikan karena penyembahan Tuhan yang lain, tetapi juga berarti melawan ketidakadilan akibat kesewenang-wenangan pembesar-pembesar Quraisy. Meski awalnya dakwah di Mekah, demikian Hazleton, Muhammad masih bagaikan Mahatma Gandhi, melawan tanpa kekerasan.

Ketika hijrah pun, ketimbang tanda kenabian yang dibaca ada pada diri sang Nabi, penerimaan kehadiran Muhammad di Madinah lebih besar karena kemampuannya dalam mendamaikan suku Aus dan Khazraj, dua suku besar di Yastrib (nama selain Madinah) yang terkenal sering berpecah dan sulit didamaikan.

Di sinilah rupanya, di Madinah, manusia bernama Muhammad itu memperlihatkan dirinya sebagai manusia yang punya akal yang cemerlang serta insting yang tajam. Ketika akan menjamu pasukan Mekah di Badar, Muhammad tahu waktu (timing) yang tepat memasuki medan itu, sehingga pasukan pimpinan Abu Sufyan sudah jenuh duluan dan berbalik arah karena tak mendapati tanda-tanda pasukan Muhammad bakal datang.

Sebaliknya, pasukan Muhammad baru memasuki Badar dan segera menguasai pusat air bersih untuk menunggu pasukan Mekah selanjutnya di bawah komando Abu Jahal. Kedua watak pasukan Mekah ini berbeda. Abu Sufyan lebih suka mengandalkan perhitungan, lebih rasional--dan perhitungan itulah rupanya yang membuat Abu Sufyan berbalik arah--ketimbang Abu Jahal yang emosian dan cenderung gegabah.

Padahal pasukan Muhammad tak lebih dari tiga ratusan orang, namun dengan segera berhasil mematahkan pasukan Abu Jahal yang berjumlah seribu orang itu. Dia sendiri--Abu Jahal--tewas. Di sini Muhammad berhasil menggunakan prinsip jika tak unggul dalam hal kuantitas, maka harus unggul dalam hal kualitas.

Prinsip itu sekali lagi diuji pada perang Uhud. Kemenangan berpihak pada pasukan muslim walau dalam jumlah hampir sepersepuluh (kalau saja Hazleton benar) dari pasukan Abu Sufyan--seandainya saja pasukan pemanah di bukit menaati perintah Nabi. Muhammad mengandalkan strategi, pasukan Abu Sufyan hanya boleh datang dari depan. Caranya? Mereka membelakangi gunung Uhud, mengikuti bekas aliran lava yang sudah mengering. Sambil pasukan pemanah memback-up dari atas.

Prinsip, atau lebih tepatnya seni berperang Muhammad akhirnya cocok dengan strategi ala Sun Tzu bahwa "perang adalah penipuan". Indikasi ini yang terjadi pada perang Khandak, atau dalam sejarah dikenal dengan "perang parit". Abu Sufyan menanggapi ini, demikian Hazleton, sebagai kecurangan, melanggar tradisi berperang orang-orang Arab yang selama ini secara jantan berhadap-hadapan. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun