Mohon tunggu...
Saefudin Sani
Saefudin Sani Mohon Tunggu... Buruh - Swasta

Orang Biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ajari Aku Dengan Kebodohanmu, Mas Iparku

3 Mei 2014   14:43 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:55 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Umurnya sebaya denganku. Cuma dalam posisi silsilah keluarga kedudukannya setingkat lebih tinggi dariku. Ini karena istriku adalah adik kandungnya. Jadi ia kupanggil dengan sebutan Mas. Mas Ipar pastinya.

Mungkin disebabkan oleh usia kami yang tak terpaut jauh, aku terkadang lupa kalau ia itu Mas Iparku. Ditambah lagi oleh sikapnya yang jauh dari Jaim (baca: jaga image), maka aku kerap memperlakukan Mas Iparku sebagai teman. Ya teman ngobrol, teman ngotot-ngototan, ledek-ledekan, berdebat, tukar pikiran, dan bantah-bantahan. Asyik juga sih! Bahkan saking asyiknya, ada kalanya aku sampai keceplosan melontarkan kata-kata yang sedikit kurang ajar. Tapi lebih asyiknya lagi, bukannya tersinggung, eh ….. Mas Iparku malah tertawa. Hahaha ……..

Walau begitu, di dalam menyikapi keseharian hidup yang dijalani, kami ibarat bumi dengan langit. Biarpun aku merasa bukan orang yang pemarah namun bila dibandingkan dengan Mas Iparku ini, maka dia itu lebih punya sifat penyabar dan mengalah ketimbang aku. Padahal, tingkat pendidikan formalnya tinggian aku daripada dia. Belajar di Pondok Pesantren juga tak sampai dua tahun. Beda denganku yang belum pernah sama sekali. Hihihi ……

O, ya …. Mas Iparku ini seorang wiraswasta. Pernah kuliah mengambil Jurusan Ekonomi, tapi memutuskan untuk keluar begitu masuk semester dua. Alasannya sederhana. Seorang dosennya pernah berpesan bahwa tujuan kuliah jangan diniatkan untuk mencari pekerjaan melainkan untuk menciptakan lapangan kerja, minimal lapangan kerja buat dirinya sendiri.

Kata Mas Iparku, “Kalau demikian, untuk apa pula aku kuliah buang-buang uang, lebih baik aku gunakan untuk modal usaha. Lagian, mau kerja saja koq mesti menunggu selesai kuliah. Kelamaan!”

Sampai di sini, kupikir ada benarnya juga ucapan dia. Kenyataannya, aku seorang buruh yang bekerja pada majikan. Sedangkan dia menjadi seorang majikan bagi dirinya sendiri. Usaha yang ia geluti adalah jual beli ikan air tawar. Fokusnya ke bibit gurame. Kata dia keuntungannya lebih menjanjikan. Perputarannya pun cepat. Beda kalau jual gurame untuk konsumsi, meski harga jualnya lebih mahal tetapi menunggunya juga terlalu lama. Perlu modal besar dengan perputaran yang lebih lambat. Begitu Mas Iparku ini pernah memberikan penjelasan. Aku pun cuma manggut-manggut saja saat mendengar dia berbicara. Bukan apa-apa, nggak mudeng alias nggak loading. Hehehe …….

Secara sepintas usaha yang dijalankan Mas Iparku ini tak ada yang istimewa. Semua berjalan biasa sebagaimana usaha-usaha lainnya. Naik-turun, macet-lancar, merugi atau untung, silih berganti tak henti-henti.

Akan tetapi, ada hal yang amat mengherankan aku ketika melihat model penyelesaian-penyelesaian aneh yang ditempuh oleh Mas Iparku dalam menangani permasalahan usahanya. Aku katakan aneh karena cara yang ia tempuh memang tak masuk akal bagiku. Sama sekali tak pernah aku pelajari ilmunya dalam pendidikan formalku. Apalagi dalam teori-teori ilmu ekonomi di sekolah, sepertinya tak mungkin ditemukan rumus penyelesaian yang dianut oleh Mas Iparku.

Pernah aku saking gemesnya dengan dia hingga terucap kalimat dengan nada bercanda, “Mas, seandainya njenengan bukan Mas ku aku pasti berani mengatakan kalau Mas ini orang yang bodoh. Tapi berhubung njenengan itu Mas ku, jadi aku nggak berani.”

Bukannya marah Mas Iparku ini malah tertawa. Lalu kata dia, “Lha memang apa sebabnya kamu memasukkan aku dalam golongan orang-orang yang bodoh?”

"Ya gimana nggak disebut bodoh. Orang usaha itu yang dikejar kan keuntungaan. Jika perlu menggunakan modal sekecil-kecilnya untuk meraup untung sebesar-besarnya. Tetapi yang aku lihat, Mas malah berlaku sebaliknya. Pada setiap keputusan-keputusan Mas yang berkaitan dengan usaha yang sedang Mas geluti, bukan mengarah pada keuntungan melainkan mempercepat usaha Mas untuk segera gulung tikar."

Mas Ipar ku mengernyitkan dahinya. “Masak sih. Keputusan yang mana?” tanyanya minta kejelasan.

Lalu kuceritakan tentang kecerobohan dia saat ada salah seorang Mitra Usahanya yang terbelit utang dengan Mas Ipar ku ini. Mitra Usahanya tersebut berterus terang tak bisa membayar tanggungan sekitar dua puluh lima juta. Sebabnya bibit ikan gurame yang diambil dari Mas Iparku ini banyak yang mati di kolam penampungannya. Hal ini dikarenakan oleh keteledorannya mengisi air di kolam penampungan dengan air yang kurang steril. Dia meminta maaf tak bisa menepati janji. Dan sebagai bentuk penyesalannya, Mitra Usaha Mas Ipar ku ini menawarkan mobilnya sebagai jaminan. “Silahkan pakai mobilku untuk usaha njenengan. Selama belum bisa membayar utangku maka mobil itu tetap ada pada njenengan,” katanya terhadap Mas Iparku.

Mendengar ceritaku ini, Mas Ipar ku tersenyum sambil berucap, “Oo itu masalahnya.”

“Coba Mas mau menerima mobil itu, kan dapat untung. Ibaratnya Mas ini dapat mobil pinjaman gratis. Sudah gitu uang dua puluh lima juta juga tak hilang. Syukur-syukur tak bisa bayar-bayar, mobil tetap bisa Mas Pakai,” kataku berapi-api.

“Begini, mengapa aku tak mau menerima mobilnya untuk jaminan utang. Pertama, tanpa mobil itu aku tetap bisa menyewa mobil. Kedua, tanpa uang dua puluh lima jutanya akupun masih bisa usaha. Nah, ini beda dengannya. Tanpa mobil tersebut ia akan semakin sulit menjalankan usahanya. Jika usahanya semakin sulit, lantas dari mana ia akan membayar utangnya. Semakin merugi berlipat-lipat ia nantinya. Lagian, menolong orang yang sedang kesusahan itu kan bukan suatu kejahatan. Aku yakin jika ia punya niat yang keras untuk segera melunasi utangnya padaku,” Mas Ipar ku menjelaskan.

Ajaibnya, ucapan Mas ipar ku ini menjadi kenyataan. Dua bulan kemudian, si Mitra Usaha Mas Iparku ini bertamu ke rumah Mas ku sambil membawa istrinya. Bersama si istri ia mengucapkan rasa terima kasih karena telah mempercayainya. Terpenting lagi, sudah menolak membawa mobilnya untuk jaminan. Malah ia melebihkan satu juta dari jumlah keseluruhan utangnya tersebut. “Kami tak bisa membayangkan, seandainya saat itu njenengan menerima mobil kami. Mungkin kami belum bisa melunasi utang kami secepat ini. Karena itu mohon diterima yang satu juta ini sebagai rasa terima kasih kami atas kepercayaan njenengan kepada kami,” kata si Suami yang diiyakan oleh Istrinya.

Tapi bukan Mas ku namanya kalau sampai menerima kelebihan uang tersebut. Malahan ia mengancam tak mau bekerja sama dengan Mitra Usahanya ini bila sampai memaksanya menerima uang yang satu juta. Dengan terpaksa mereka mengambil kembali uang satu jutanya itu. Tak lama kemudian mereka pun berpamitan sambil tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Anehnya, keesokan harinya mereka kembali lagi dengan membawa berbagai oleh-oleh ke rumah Mas ipar ku.

Baiklah, tentang peristiwa tersebut aku menganggap sebagai sebuah keberuntungan belaka. Kebetulan saja Mitra Usahanya ini orang yang baik dan jujur. Coba kalau ketemu penipu, tentu Mas ipar ku ini akan mengambil sikap yang lebih keras. Itu keyakinanku!

* * * * * * * * * * * *

Selanjutnya pada waktu yang lain.

Langganan baru Mas Iparku ada sangkutan utang sepuluh juta. Beberapa kali ia sudah menagih, namun jawabannya selalu saja tarsok-tarsok (maksudnya entar-entar besok). Saat aku mendengar hal tersebut kutanyakan pada dia dengan sedikit emosi. Mas ku mengiyakan. Nadanya datar. Tak ada kemarahan sama sekali. Jengkel juga aku dibuatnya. Sudah kubela-bela, eh .. Mas Iparku ini malah tenang-tenang saja.

Mas ini payah. Percuma kubela kalau nggak ada tanggapan. Sepuluh juta itu jumlah yang tidak kecil lho, Mas. Setengah mati kita mencarinya!” kataku dengan ketus.

“Lho, aku juga kan sudah menagih sesuai dengan waktu yang dijanjikannya. Berarti tak ada lagi yang perlu dipersoalkan,” jawab Mas Iparku.

“Iya, tapi tiap jatuh tempo ia selalu mengingkarinya dan selalu membuat janji baru lagi. Kalau begini terus, lalu sampai kapan Mas akan menagihnya?”

“Ya sampai ia menepati janjinya.”

“Terus kalau dia tak menepati janjinya bagaimana coba?”

“Ya sampai ia tak mau membuat janji lagi.”

“Berarti Mas sudah dibohongi dong!”

“Kalau memang iya ya ikhlaskan saja. Lagian siapa juga sih yang belum pernah dibohongi. Semua orang pasti pernah mengalaminya. Bahkan seorang pembohong sekali pun pasti pernah dibohongi pula.”

Busyet dah Mas Iparku ini. Susah ngomong sama dia kalau sudah begini. Ujung-ujungnya pun justru aku yang malah diceramahinya. Dia pun lalu melanjutkan ceramahnya.

“Kalau ternyata benar bahwa ia punya niat membohongiku ya tidak apa-apa. Semua tergantung bagaimana kita menyikapinya. Kebohongan tak harus dibalas dengan kebohongan. Bagiku Tuhan itu Maha Kaya. Tak bakal miskin aku cuma karena uang sepuluh juta. Yang penting bagiku, berusaha mencari rezeki dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Sedangkan mengenai hasil serahkan saja semua kepada-Nya. Beres kan? Justru aku kasihan sama dia bila sampai menganggap keberhasilannya untuk membohongiku dianggap sebagai rezeki. Pasti jauh dari berkah.”

Dan nyatanya, usaha Mas Iparku ini memang tak bangkrut sebagaimana yang aku takutkan. Ah ternyata, alangkah sederhananya hidup ini jika kita masih punya keikhlasan dan keyakinan akan kebaikan Tuhan!

Ajari aku dengan kebodohanmu, Mas Iparku!

* * * * * * * * * * * *

*njenengan = kamu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun