Mohon tunggu...
Mr Sae
Mr Sae Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti

Pemerhati sosial dan kebijakan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Hilirisasi Sektor Pertanian dan Kenyataan Lapang

20 Juni 2017   16:00 Diperbarui: 22 Juni 2017   15:20 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: floraviva.it

Posisi secara geografis, luasan dan potensi yang terkandung serta sumberdaya yang ada di Indonesia sangat strategis dan menguntungkan secara ekonomi dan politis di mata asia dan dunia saat ini dan dimasa mendatang. Sektor pertanian sebagai kenyataan Indonesia sebagai sumber penghasil bahan pangan dan melimpahnya sumber daya genetik yang tidak dimiliki negara-negara lain harus dijadikan sebagai peluang dan kekutan besar sebagai negara eksis secara ekonomi dan politis. Untuk itu pengelolaan sektor pertanian harus dimaksimalkan dalam upaya meraup berbagai keuntungan tersebut dalam upaya pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat secara luas salah satunya melalui upaya "hilirisasi sektor pertanian". 

Sektor pertanian masa depan tidak hanya tangguh sebagai penyedia bahan baku pangan namun harus menjadi sumber potensial pemecahan masalah pengangguran dan kemiskinan nasional karena pada kenyataanya sebagian besar penduduk Indonesia bergerak dan tergantung dari sektor pertanian.

Pemerintah diminta untuk serius mendorong industri hilir berbasis produk pertanian. Selain untuk memperoleh nilai tambah, juga dimaksudkan untuk menampung migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dalam kurun Februari 2012 hingga Agustus 2013, tenaga kerja sektor pertanian berkurang hingga 3 juta orang lebih. Dalam kurun waktu yang sama, tenaga kerja di sektor industri bertambah, meskipun hanya 600.000 orang. Penurunan jumlah petani saat ini merupakan konsekuensi logis dari proses industrialisasi. Hal itu konsekuensi logis atas kemajuan dan peralihan ke industrialisasi di mana pun di dunia, termasuk Indonesia. Sebaiknya petani beralih ke industri pertanian, agar tetap dapat menopang ketahanan pangan nasional.

Oleh sebab itu jika para petani kecil pindah ke sektor non pertanian, akan menyulitkan usaha Indonesia untuk mewujudkan ketahanan pangan. Sebab, eksistensi para petani kecil tersebut sangat penting untuk mencapai ketahanan pangan. Di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, (jumlah) mereka paling besar. Karena itu petani harus dijaga dan ditingkatkan pendapatannya sehingga hidupnya sejahtera. Dengan demikian upaya industrialisasi pertanian harus melibatkan para petani dan tetap menjadikan mereka sebagai tulang punggung pertanian. Dalam hal ini, peran teknologi sangat menentukan. Disisi lain teknologi pertanian Indonesia saat ini belum dapat dikatakan maju. Hal itulah yang membuat produk pertanian Indonesia jauh lebih mahal dibanding produk negara lain, sehingga akhirnya kalah di pasaran.

Untuk mendukung industrialisasi tersebut, pemerintah harus berupaya mengatasi hambatan-hambatan ekspor produk pertanian. Sebagai contoh produk kelapa sawit yang hingga kini masih ditolak sejumlah negara dan hal ini harus diperjuangkan. Pemerintah harus bekerja keras agar produk pertanian kita bisa diekspor. Dalam kasus sawit, misalnya, World Bank membuktikan bahwa kesejahteraan tiga juta petani plasma meningkat lewat produk ini. Ini harus terus diperjuangkan.

Selanjutnya upaya mewujudkan industrialisasi, investasi menjadi hal yang diperlukan, termasuk investasi dari luar negeri. Namun, tidak semua pihak bisa menerima investasi di sektor ini. Sebagian kalangan masih menilainya sebagai eksploitasi. Karena itu pemerintah harus mewujudkan investasi yang bertanggung jawab, supaya kesan eksploitasi tidak ada. Sebab, dengan investasi, maka proses industrialisasi akan semakin cepat berjalan. Tidak hanya itu, industri pengolahan pertanian yang harus dibangun adalah industri di bidang makanan dan minuman, seperti kopi, cokelat, tepung tapioka, jagung, dan kedelai. Selain itu industri hilir karet dan kepala sawit. Jika dibangun industri pengolahan dalam bidang pertanian maka nilai tambah tentu banyak.

Untuk membangun industri hilir, termasuk produk pertanian, terlebih dahulu harus dibangun infrastruktur termasuk ketersediaan energi listrik. Sebab, persoalan listrik kerap dikeluhkan pengusaha. Selain itu, kata dia, pemerintah harus memberi insentif untuk pengusaha yang membangun industri hilir yang berbasis perdesaan. Hilirisasi yang digenjot selama ini lebih berbasis pada produk perkebunan, yang berbasis pada perusahaan besar. Hal itu mengakibatkan industri pertanian berbasis perdesaan yang seharusnya bisa menopang jutaan tenaga kerja produktif malah telantar. Beberapa gagasan hilirisasi, tetapi sebagian besar yang didorong justru berbasis komoditas perkebunan. 

Kenyataanya, sebagian besar petani perdesaan tidak beraktivitas di sektor perkebunan namun non perkebunan (tanaman pangan dan hortikultura). Jika targetnya sekadar meningkatkan nilai tambah atau devisa dapat terpenuhi, namun dampak untuk menyerap tenaga kerja perdesaan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat perdesaan tidak tercapai. Oleh sebaba itu diperlukan revitalisasi atas gagasan hilirisasi dan perlu diperjelas pada tingkatan mana yang harus diprioritaskan. Jika tidak, konsep hilirisasi tidak tepat sasaran dan tidak berdampak pada upaya meningkatkan lapangan kerja di pedesaan.

Pada kenyataanya terlihat, bahwa kebijakan pemerintah sangat minim untuk mendorong pertanian dalam segala lini. Demikian juga dalam memberikan dukungan dan mendorong peningkatan nilai tambah atas produk yang dihasilkan para petani. Lebih lanjut tenaga kerja sektor pertanian pun tidak disiapkan secara baik. Padahal, dunia usaha dalam pertanian sangat banyak dan cukup luas. Akibatnya, pertanian diindetikan dengan kemiskinan dan sulit mengajak tenaga kerja potensial masuk dalam usaha tersebut.

Dengan penurunan jumlah lahan, banyak tenaga kerja di sektor pertanian beralih ke sektor industri, namun ada juga yang sengaja berpindah ke sektor lain karena insentif pertanian dari tahun ke tahun menurun. Selain itu masih banyak industri yang berbasis pertanian, seperti pangan, perkebunan, dan peternakan. 

Hampir keseluruhan dari hasil jadinya, bahkan bahan bakunya, merupakan barang impor. Padahal, Indonesia memiliki bahan bakunya. Ambil contoh, dari pangan ada 45-50 persen bahan baku yang diimpor seperti singkong dan dari perkebunan untuk kapas 99 persen impor, daging sapi juga demikian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun