Mohon tunggu...
Sadin Yusuf Ardika
Sadin Yusuf Ardika Mohon Tunggu... Penulis

Saya Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta Fakultas Teknik Informatika tahun 2022

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Media Sosial dan Krisis Mental: Antara Eksistensi dan Kehilangan diri

20 Oktober 2025   14:27 Diperbarui: 20 Oktober 2025   14:27 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

 Media sosial kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern. Ia bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga ruang untuk membangun citra dan mencari pengakuan sosial. Fenomena ini menciptakan budaya baru di mana eksistensi seseorang sering diukur dari seberapa aktif dan populer ia di dunia maya. Media sosial telah menggeser nilai-nilai keaslian menjadi pencitraan. Manusia berlomba menunjukkan versi terbaik dirinya demi mendapat validasi publik. Identitas kini lebih banyak dibentuk oleh algoritma dan penampilan, bukan oleh interaksi nyata.

            Tekanan untuk terlihat sempurna menimbulkan kecemasan, stres, hingga depresi. Banyak pengguna terjebak dalam perbandingan sosial dan kehilangan rasa percaya diri. Ketergantungan terhadap "like" dan komentar membuat kebahagiaan bergantung pada pengakuan orang lain. Muncul pertanyaan mendasar: apakah eksistensi digital mencerminkan diri yang sejati, atau justru menjauhkan kita dari jati diri sebenarnya? Dalam upaya untuk "ada", manusia modern sering kali justru "kehilangan diri".

            Meningkatnya penggunaan media sosial di berbagai lapisan masyarakat telah menarik perhatian luas dalam kajian akademik, khususnya terkait dampaknya terhadap kesehatan mental individu. Dalam konteks sosial-budaya, media sosial tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai ruang pembentukan identitas, eksistensi, dan status sosial. Studi-studi terbaru menunjukkan bahwa media sosial memiliki hubungan erat dengan munculnya gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan kecanduan, terutama di kalangan remaja dan mahasiswa yang hidup dalam budaya digital yang menekankan popularitas dan validasi sosial.

            Analisis literatur menunjukkan bahwa budaya memiliki peran penting dalam memengaruhi bagaimana seseorang menggunakan media sosial dan merespons dampaknya terhadap kesehatan mental. Dalam masyarakat yang sangat terhubung secara digital, tekanan budaya untuk "terlihat bahagia" atau "selalu eksis" dapat memicu stres psikologis dan rasa kehilangan jati diri. Sementara itu, nilai-nilai sosial seperti kolektivitas, norma moral, serta cara pandang terhadap privasi turut membentuk bagaimana individu membangun citra dirinya di ruang maya.

 

            Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor usia, tahap perkembangan individu, serta pola penggunaan media sosial memiliki pengaruh besar terhadap kondisi psikologis seseorang. Masalah yang sering muncul mencakup rasa takut tertinggal (FOMO), gangguan tidur, dan penurunan harga diri, terutama pada remaja dan dewasa muda yang sedang berada pada fase pencarian jati diri. Meskipun demikian, media sosial juga memiliki sisi positif, yakni dapat menjadi sarana dukungan emosional dan intervensi kesehatan mental secara daring melalui komunitas sebaya.

 

            Diperlukan pendekatan psikologis yang adaptif, termasuk penguatan literasi digital, pendampingan mental, dan kebijakan yang mendukung keseimbangan penggunaan media sosial, agar dampak negatifnya dapat ditekan dan manfaat psikologisnya dapat dimaksimalkan. Penelitian selanjutnya disarankan menyoroti aspek perkembangan emosional jangka panjang, perbedaan lintas budaya, serta strategi intervensi digital inovatif dalam menjaga kesehatan mental pengguna media sosial.

 

            Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern dan secara halus membentuk cara manusia berpikir, merasakan, dan memahami dirinya. Dalam konteks filosofis, khususnya melalui pendekatan eksistensialisme, fenomena ini mencerminkan paradoks antara kebebasan dan tanggung jawab, serta keaslian dan keterasingan dalam dunia digital. Studi ini menelaah bagaimana media sosial memengaruhi kebahagiaan dan kecemasan individu dari perspektif eksistensial, dengan menyoroti bahwa kebebasan berekspresi di ruang maya sering kali diiringi tekanan untuk menampilkan citra diri tertentu.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun