Hal yang paling keliru lagi terjadi, kalau orang menjawab itu bukan masalah, kita atau masalah publik. Lantas menjabat sebagai Gubernur Jakarta itu siapa orangnya, Plh atau siapa? Tanggungjawabnya dimana? Lagi-lagi biarlah publik yang menjawab.Â
Kalaupun Publik menilainya sebagai kejahatan yang direncanakan, ini siklus yang perlu dihilangkan. Berarti sandaran publik adalah pengalaman politik, itu menjadi kebiasaan.Â
Akan tetapi sebagai mata masyarakt awam, hal ini tidak bisa diskenariokan sampai melampaui batasan sebagaimana dendam politik. Dan jika jawabannya sebagian orang adalah ini privasi maka yang demikian terkesan politis dan ikut andil dalam merencanakan kejadian orang hilang tersebut.Â
Untuk mendapatkan jawaban pasti, kiranya kita dapat membuat semacam sebuah inisiatif. Menegur dengan tegas bahwa jabatan politik tidak seperti menjabat di organisasi rumah tangga yang keputusannya ada pihak bapak.Â
Dengan demikian, publik menyetujui atau tidak, keadaan ini tidak kembali seperti sedia kala. Sudah berlalu tentunya. Yang ada hanyalah, menunggu jawaban pasti dan bukan klaim pencitraan didepan publik.Â
Hal semacam ini sebenarnya mengganggu dinamika dan stabilitas demokrasi karena orang merasa tidak ada tanggungjawab sama sekali. Entah merepon atau mengabaikan? Itu urusan nanti.Â
Tanggungjawab evaluasi tertinggi ada pada wakil publik yang merasa bahwa ini perlu ditangani secara politis biar publik dengan legah memahami serta menerim untuk alasan rasionalnya. Begitulah, tanya publik. Siapa yang menjawab?Â
Mengajak kepada pembaca, mencoba melihat realita dalam pemikiran terbuka. Agar tidak tercipta pemahaman yang kaku terhadap sebuah problem yang terjadi.Â
Publik akan terus bertanya. Entahlah..!