Mohon tunggu...
Muhammad Saddam Haikal
Muhammad Saddam Haikal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ

Hanya manusia biasa yang membiasakan diri untuk terbiasa belajar, mengajar, dan diajarkan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengatur Ekspektasi dan Kekecewaan

10 April 2022   14:42 Diperbarui: 10 April 2022   15:08 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emosi (Foto: Ann H dari Pexels)

Misalnya, suatu hari kamu menjalani sebuah ulangan harian fisika secara mendadak dan sialnya kamu belum sempat belajar apa pun karena terlalu asyik bermain game. Ketika hasil ulangan diberikan oleh guru, kamu melihat bahwa nilaimu adalah 50, sementara teman-teman yang lain mendapatkan nilai 90 ke atas. Bagaimana perasaanmu? Tentu kamu akan merasa gelisah, malu, tidak berguna, dan takut dikucilkan oleh teman-teman, atau kasarnya: takut dibilang bodoh. Oleh karena itu, kamu memilih untuk menjauh dari teman-teman agar tidak ditanyai tentang nilai fisika yang kamu dapatkan.

Jika kita analisis peristiwa di atas dengan rumus FOR, maka akan kita dapati sebagai berikut. (1) Fakta: saya mendapat nilai 50 pada pelajaran fisika. (2) Opini: nilai 50 berarti saya bodoh dan kalau saya bodoh maka saya akan dijauhkan teman-teman. (3) Respons: saya menjauh dari teman-teman dan merasa ilfell selama satu hari atau bahkan seminggu setelahnya.

Coba kita perhatikan baik-baik. Respons yang kita lakukan sangat dipengaruhi oleh opini kita terhadap suatu fakta. Dalam hal ini, faktanya adalah saya mendapatkan nilai 50. Berhenti sampai di situ. Tapi karena kamu beropini bahwa nilai 50 merupakan satu-satunya standar kebodohan dan ancaman terhadap "harga diri", maka kamu memilih untuk merespons dengan menjauh dari orang lain dan gondok dengan diri sendiri.

Sekarang, mari kita coba ubah opini di atas menjadi: nilai 50 artinya saya harus belajar lebih giat lagi, toh ini sekadar ulangan harian, bukan hari kiamat. Saya masih mempunyai waktu untuk berusaha lagi di ulangan-ulangan berikutnya. Saya akan diskusikan ini dengan teman-teman, siapa tahu mereka memiliki solusi tambahan untuk mengatasi permasalahan ini. 

Setelah mengganti opini tersebut, maka respons yang kita dapatkan pun akan berubah, yaitu: saya akan fokus belajar, saya akan mengurangi waktu bermain game, saya akan meminta teman atau guru untuk mengajari saya tentang soal-soal yang saya anggap sulit. See? Berbeda jauh, kan?

Dari sinilah kita bisa simpulkan bahwa yang perlu diperbaiki dari suatu peristiwa sedih bukanlah peristiwanya itu sendiri (fakta) karena kita tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikannya (sudah terjadi, sudah berlalu, dan sudah takdir sehingga percuma saja berlarut dalam kesedihan). Sebaliknya, yang bisa kita lakukan terhadap peristiwa sedih itu adalah dengan memperbaiki opini kita karena inilah satu-satunya senjata yang kita miliki. Ketika opini kita sesuai dengan nalar dan realistis, maka tentu respons yang kita pilih akan berpotensi membawa semangat kemajuan dan perbaikan di kemudian hari. Akibatnya, kita menjadi pribadi yang evaluatif sehingga tidak terus-menerus menyesali masa lalu atau bahkan terjebak dalam kesedihan tak berujung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun