Mohon tunggu...
Sabrina Syahadat
Sabrina Syahadat Mohon Tunggu... -

karena A=N

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kolak Bu De Mar

13 Maret 2010   20:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:26 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_93052" align="alignright" width="300" caption="http://www.cakeindo.com/portal/cakes_plugins/recipe_menu/images/pictures/151_kolak.jpg"][/caption] (Umurku sepuluh tahun.) "Bu, kenapa Bapak bilang kolak Bu De Mar selain enak, juga bermanfaat?" tanyaku sambil membereskan buku pelajaran untuk besok. "Sini," kata Ibu sambil menepuk-nepuk permukaan karpet di depannya. Aku menghampiri Beliau dan duduk di bagian karpet yang ia tepuk-tepuk tadi. Ibu tersenyum. "Maksud Bapak enak dan bermanfaat itu begini, Nak... Enak, karena kolak Bu De Mar manisnya pas." Aku mengangguk-angguk. Ibu melanjutkan, "Bermanfaatnya kelanjutan dari enaknya itu. Arti dan maknanya, maksudnya." Ibu menunggu responku. Aku mengangguk lagi tanda mengerti. "Nak, segala sesuatu harus diusahakan berada dalam keadaan seimbang. Jangan sampai berlebihan. Jangan terlalu manis, jangan hambar betul. Jangan terlalu rendah diri, tapi jangan sampai kelewat sombong juga. Makan kolak terlalu banyak juga ngga boleh, lho." "Lho?" aku bingung. "Karena yang manis-manis itu bisa bikin kita sakit. Diabetes namanya," ujar Ibu lembut. "Ooooohh... Berarti aku juga ngga boleh terlalu pintar, dong, Bu?" Ibu tertawa pelan. "Iya. Karena orang yang terlalu pintar bisa sakit kepala, karena terlalu banyak belajar dan berpikir. Otak butuh istirahat juga, 'kan?" "Tapi, ngga boleh bodoh juga....," ucapku melengkapi. Ibu memelukku. 'Kulihat wajahnya bahagia, matanya menatap langit-langit kusam rumah kami yang super sederhana. _____ (Umurku dua puluh satu.) Kolak Bu De Mar masih sama enaknya. Sepulang kerja, Bapak masih sering sengaja mampir untuk membelinya beberapa kantung. Tapi, kami tak menyantapnya seperti dulu. Tidak lagi duduk bertiga di atas karpet. Kini, meja makan yang tertata apik menjadi tempat bagi aku, Ibu, dan Bapak bertemu muka di pagi dan sore hari. Sayangnya, pertemuan kami tak bisa sehangat dulu, semasa masih duduk di karpet. Bapak buru-buru di pagi hari dan lelah di sore hari. Bapak tak lagi banyak bicara, tak lagi hobi bergurau. Petang yang jingga dan sejuk. Ibuku yang cantik dan wangi, baru saja selesai menuang kolak ke dalam mangkukku. Lalu Beliau duduk dan kami melahap kolak favorit keluarga kami itu. Tadi aku yang membelinya, karena Bapak sedang tugas di luar negeri. Kami baru saja mulai menyantap kolak Bu De Mar ketika aku melihat cincin di jari manis Ibu. Cincin yang belum pernah aku lihat. Bukannya baru seminggu yang lalu, ya, Bapak membelikan Ibu cincin? Lagi? tanyaku dalam hati. Aku menghela nafas. "Bu..." Ibu menoleh ke arahku. "Terlalu boros juga ngga boleh, 'kan, Bu?" Ibu tidak menjawab. Beliau hanya merekahkan senyum yang kecilnya teramat sangat. Kemudian melanjutkan menyantap kolak dari mangkuknya. "Aku tau, Bu, ini semua memang hasil kerja Bapak. Sama sekali bukan milikku. Tapi, bukankah Bapak yang mengajarkan kita tentang kolak Bu De Mar?" nada suaraku naik sedikit. "Nak, Ibu sudah berulang kali mengingatkan Bapak. Kamu tau itu. Cuma itu yang bisa Ibu lakukan. Ngga mungkin Ibu meminta semua uang Bapakmu untuk disimpan." "Dan ngga bisa menolak pemberian apapun dari Bapak," ucapku datar. "Bukan Ibu yang meminta. Itu yang pasti!" Gantian suara Ibu yang meninggi. Aku kaget dan menyadari perkataanku salah. Ibu benar, ini bukan salah Ibu. "Maaf, Bu," pintaku. Ibu tidak menjawabku. Wajahnya seketika layu. Beliau berdiri, mengangkat mangkuknya, dan membawanya ke dapur. Masih ada kolak di dalamnya. Aku tertunduk menghabiskan sisa kolak Bu De Mar dalam mangkukku. Rumah ini begitu megah. Tiga mobil mewah di dalam garasi. Dua lebih sering terparkir di sana. Perabot kayu jati. Lantai dan kaca bersih mengkilat hasil duet Si Mbok dan Yani, keponakannya. Taman asri, sungguh rapi karya Ibu yang dari dulu suka sekali menata halaman. Ini berlebihan. Bapak membelikan Ibu perhiasan hampir tiap minggu, membelikanku barang-barang elektronik yang tidak pernah 'kuminta dan akhirnya juga tidak 'kupakai. Bapak membeli hampir semua barang mahal yang gunanya tidak sebanding dengan harganya, memilih daging setiap hari untuk menu makannya, lupa pada tempe, pergi wisata "keliling" tiap tahun. Lupa pada keringatnya sendiri. Kolak Bu De Mar masih sama enaknya seperti dulu. Masihkah bermanfaat? ______ (Sekarang. Umurku dua puluh delapan.) Bapak tak kuasa mengusir kesedihannya. Beliau tampak berusaha memahami dirinya sendiri. "Kenapa kolak Bu De Mar enak begini, ya, Nak?" tanya Bapak. Aku diam. Lampu ruang kelas dua rumah sakit ini terasa semakin redup. Semoga tensi darah Bapak tak naik lagi, jadi Beliau bisa pulang besok. Kasian Ibu memikirkan biaya inap dan obat. Segala sesuatu harus ada di tengah-tengah. Tidak keterlaluan. Tidak terlalu manis, juga tidak hambar. Filosofi yang Beliau ciptakan sendiri dan sempat terlupakan. Sekarang Bapak tak ada daya. Sambil menahan sakit, Beliau bilang, "Tolong belikan Bapak satu lagi, Nak." Airmata mengalir ke arah daun telinganya. _____ Jakarta, Ramadhan 1430 H. untuk Mamah: tanteku tercinta & Bapakku yang doyan kolak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun