Apa yang membuat seorang perempuan memilih melajang di usia hampir tiga puluh tahun? Tak sedikit yang dengan mudah menilai, menyalahkan, bahkan mencemooh, seolah menikah adalah satu-satunya jalan hidup perempuan. Lewat cerpen "Mengapa Perempuan Itu Melajang?" karya Rosul Jaya Raya, kita diajak merenungi lebih dalam realita sosial yang selama ini sering diabaikan yaitu tekanan terhadap perempuan yang belum menikah dan bagaimana perempuan menavigasi hidupnya di tengah budaya patriarki.
Cerpen ini berkisah tentang Nias, perempuan cerdas, cantik, dan mandiri, pemilik apotek lulusan farmasi yang hidup di Jakarta. Ia memiliki segalanya, kecuali satu hal yang dianggap penting oleh masyarakat yaitu seorang suami. Melajang membuatnya dianggap "tidak lengkap", bahkan oleh keluarganya sendiri. Ibunya berkali-kali menyuarakan kecemasan tentang nasib anak gadisnya yang belum juga menikah. Kalimat, "Nak, de’remmah sudah punya calon belum?" terdengar ringan, tapi menyimpan tekanan sosial yang dalam.
Melalui karakter Nias, cerpen ini tidak hanya bercerita tentang cinta yang gagal, tapi juga luka-luka batin yang tertinggal. Nias pernah mencintai, dan dicintai. Namun ia lebih sering dikhianati dan ditinggalkan tanpa alasan. Luka-luka itu menjadikannya apatis terhadap cinta dan memilih melajang bukan karena tak laku, tapi karena trauma dan pilihan sadar.
Uniknya, cerpen ini tidak hanya bermain di ranah realisme, tapi juga menyisipkan unsur mistis lokal: pelet, jampi-jampi, dan botol berisi foto serta kain merah. Sowi si teman masa kecil Nias yang pernah begitu tergila-gila hingga rela mencari "orang pintar" untuk mendapatkan cintanya. Pelet dalam cerpen ini menjadi simbol dari keputusasaan, sekaligus memperlihatkan bagaimana tubuh dan perasaan perempuan sering menjadi objek manipulasi dalam masyarakat patriarki.
Rosul Jaya Raya menempatkan semua elemen ini dalam latar sosial yang keras: penggusuran, demonstrasi, dan kehilangan tempat tinggal. Konflik batin tokoh berjalan berdampingan dengan konflik sosial yang lebih besar, membuat cerita ini sarat makna dan sangat relevan dengan kondisi masyarakat kita hari ini.
Cerpen ini juga menggugat norma usang yang menyalahkan perempuan karena tak kunjung menikah. Mitos seperti “sangkal” yaitu kepercayaan bahwa perempuan yang menolak lamaran pertama akan sulit menikah yang masih melekat kuat di banyak daerah. Masyarakat masih sering menilai perempuan bukan dari keberhasilan atau pendidikannya, tetapi dari status pernikahannya. Padahal, seperti Nias, banyak perempuan yang memilih melajang bukan karena gagal, tapi karena ingin berdiri atas pilihan hidupnya sendiri.
Melalui kisah ini, kita disadarkan bahwa tidak semua perempuan mendambakan pernikahan sebagai puncak pencapaian. Ada yang memilih sendiri karena pernah dikhianati. Ada yang lelah dengan ekspektasi sosial. Dan ada juga yang, seperti Nias, sekadar ingin hidup damai tanpa dibebani standar kebahagiaan orang lain.
Cerpen “Mengapa Perempuan Itu Melajang?” adalah kritik sosial yang halus namun tajam terhadap budaya patriarki yang masih kuat mencengkeram kehidupan perempuan. Nias, dalam kesepiannya, bukan tokoh lemah. Ia justru menjadi simbol kekuatan dan keberanian seorang perempuan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Dan kita, sebagai masyarakat, harus belajar untuk berhenti menghakimi.
Referensi:
Rosul Jaya Raya. Mengapa Perempuan Itu Melajang? (2024)
Beauvoir, Simone de. The Second Sex. Vintage Books, 1949.
Humm, Maggie. Feminisms: A Reader. Routledge, 2002.