Mohon tunggu...
Sabilla Qurratu Aini
Sabilla Qurratu Aini Mohon Tunggu... mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Universitas Muhammadiyah Surakarta

mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Universitas Muhammadiyah Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kekuasaaan Feodalisme sebagai Bentuk Dominasi| Antara Hirarki dan Ketundukan

25 September 2025   18:58 Diperbarui: 25 September 2025   19:10 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Feodalisme adalah sistem sosial-politik yang menempatkan sebagian kecil kelompok masyarakat para bangsawan, penguasa tanah, atau elite tertentu sebagai pemegang kekuasaan utama atas kehidupan banyak orang. Dalam praktiknya, feodalisme membangun piramida sosial yang kaku. penguasa berada di puncak, sedangkan rakyat jelata menempati lapisan terbawah. Ketaatan dianggap sebagai norma, sementara hubungan kekuasaan berjalan satu arah, dari atas ke bawah. Di Indonesia, sisa-sisa pola feodal masih terasa dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari birokrasi, pendidikan, hingga budaya sehari-hari. Ungkapan hormat, tunduk, atau bahkan sungkem seringkali diwarnai bukan oleh cinta dan kesadaran, tetapi oleh keharusan struktural yang diwariskan turun-temurun.

Kekuasaan Feodalisme sebagai Bentuk Dominasi

Kekuasaan feodalisme pada dasarnya adalah relasi sosial yang menempatkan sebagian orang di posisi "atas" dan sebagian besar lainnya di posisi "bawah". Hubungan ini tidak lahir dari kesepakatan setara, melainkan dari warisan status, keturunan, atau kepemilikan sumber daya. Dalam pola semacam ini, kuasa bukan sekadar alat mengatur, tetapi juga sarana melanggengkan ketimpangan.

Dalam sejarah Eropa, feodalisme muncul sebagai hubungan timbal balik antara tuan tanah dan petani. Tuan tanah memberikan perlindungan, sementara petani bekerja di ladang sebagai gantinya. Namun dalam kenyataannya, hubungan ini timpang, petani terikat utang, tak punya kebebasan, dan sulit keluar dari lingkaran ketergantungan.  Di Nusantara, pola feodalisme berkembang lewat kerajaan-kerajaan yang menekankan kesetiaan mutlak kepada raja dan bangsawan. Bahkan setelah sistem kerajaan digantikan oleh kolonialisme atau negara modern, pola pikir feodal tetap mengakar dalam masyarakat. Hormat pada pemimpin atau guru, misalnya, terkadang tidak lagi lahir dari penghargaan tulus, melainkan dari rasa takut, sungkan, atau keterpaksaan.

Feodalisme masih bertahan hingga kini karena dua hal:

Pertama Budaya, masyarakat terbiasa menilai tinggi simbol hormat, meskipun kosong dari makna sejati.

Kedua Kekuasaan, penguasa atau elite memelihara sistem ini untuk menjaga posisinya tetap kokoh.

Dengan demikian, kekuasaan feodalisme bukan sekadar sistem kuno, melainkan pola relasi sosial yang masih membayangi kehidupan modern. Ia perlu dikritisi agar nilai hormat sejati yang lahir dari kesadaran dan cinta, tidak tergantikan oleh kepatuhan semu yang mengekang kebebasan. Feodalisme tidak hanya tampak dalam kerajaan kuno atau masa kolonial, tetapi juga menjelma dalam kehidupan modern, birokrasi yang hierarkis, pendidikan yang menuntut kepatuhan tanpa dialog, bahkan budaya hormat yang lebih menekankan formalitas daripada substansi. Jika ditelusuri lebih dalam, ada beberapa alasan mengapa feodalisme dianggap problematis.

1. Membatasi Kebebasan Individu

Dalam sistem feodal, seseorang sulit mengutarakan gagasan atau kritik. Hormat yang seharusnya lahir dari pengakuan atas nilai dan kebijaksanaan, berubah menjadi kepatuhan buta. Murid tidak bebas mengoreksi guru, bawahan tidak berani menyampaikan pendapat kepada atasan, rakyat tidak leluasa mengkritik penguasa. Kebebasan berpikir terkekang oleh rasa takut dianggap durhaka atau tidak sopan.

2. Memelihara Ketidakadilan Sosial

Feodalisme menciptakan garis batas tegas antara "atasan" dan "bawahan". Dalam sejarah, para petani bekerja keras mengolah tanah, tetapi hasilnya lebih banyak dinikmati tuan tanah. Dalam kehidupan kontemporer, pola serupa bisa ditemukan: rakyat memberi pajak, tenaga, dan kesetiaan, sementara elite menikmati privilese. Ketidakadilan semacam ini terpelihara karena dianggap sebagai "kodrat sosial" yang tidak boleh diganggu gugat.

3. Menumpulkan Inovasi

Dalam masyarakat feodal, posisi sosial lebih ditentukan oleh kelahiran atau status, bukan oleh kompetensi. Anak bangsawan bisa mendapat kehormatan sejak lahir, sementara rakyat jelata meskipun cerdas seringkali tidak mendapat tempat. Akibatnya, gagasan kritis dipandang sebagai bentuk pembangkangan. Kreativitas yang semestinya menjadi kekuatan masyarakat akhirnya terhambat oleh rasa takut melawan arus feodal.

4. Membalut Kekuasaan dengan Simbol Kehormatan

Salah satu ciri khas feodalisme adalah kemampuannya menyembunyikan dominasi di balik kata-kata indah: "hormat", "loyalitas", atau "pengabdian". Seseorang diajarkan tunduk kepada atasan bukan karena keadilan, melainkan demi menjaga wibawa. Relasi kuasa dibungkus dengan ritual penghormatan, tetapi substansinya adalah pelanggengan kekuasaan yang timpang.

Penutup

Kekuasaan feodalisme bukan hanya fenomena sejarah, melainkan pola relasi yang masih bisa ditemui hingga kini. Selama kepatuhan buta lebih dihargai daripada pemikiran kritis, selama simbol kehormatan dipakai untuk menutupi ketidakadilan, feodalisme akan terus bernafas dalam berbagai bentuk. Kritik terhadapnya bukan berarti menolak nilai hormat, melainkan mengembalikan makna hormat yang sejati, yakni penghargaan tulus yang lahir dari kesadaran, bukan dari keterpaksaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun