2. Memelihara Ketidakadilan Sosial
Feodalisme menciptakan garis batas tegas antara "atasan" dan "bawahan". Dalam sejarah, para petani bekerja keras mengolah tanah, tetapi hasilnya lebih banyak dinikmati tuan tanah. Dalam kehidupan kontemporer, pola serupa bisa ditemukan: rakyat memberi pajak, tenaga, dan kesetiaan, sementara elite menikmati privilese. Ketidakadilan semacam ini terpelihara karena dianggap sebagai "kodrat sosial" yang tidak boleh diganggu gugat.
3. Menumpulkan Inovasi
Dalam masyarakat feodal, posisi sosial lebih ditentukan oleh kelahiran atau status, bukan oleh kompetensi. Anak bangsawan bisa mendapat kehormatan sejak lahir, sementara rakyat jelata meskipun cerdas seringkali tidak mendapat tempat. Akibatnya, gagasan kritis dipandang sebagai bentuk pembangkangan. Kreativitas yang semestinya menjadi kekuatan masyarakat akhirnya terhambat oleh rasa takut melawan arus feodal.
4. Membalut Kekuasaan dengan Simbol Kehormatan
Salah satu ciri khas feodalisme adalah kemampuannya menyembunyikan dominasi di balik kata-kata indah: "hormat", "loyalitas", atau "pengabdian". Seseorang diajarkan tunduk kepada atasan bukan karena keadilan, melainkan demi menjaga wibawa. Relasi kuasa dibungkus dengan ritual penghormatan, tetapi substansinya adalah pelanggengan kekuasaan yang timpang.
Penutup
Kekuasaan feodalisme bukan hanya fenomena sejarah, melainkan pola relasi yang masih bisa ditemui hingga kini. Selama kepatuhan buta lebih dihargai daripada pemikiran kritis, selama simbol kehormatan dipakai untuk menutupi ketidakadilan, feodalisme akan terus bernafas dalam berbagai bentuk. Kritik terhadapnya bukan berarti menolak nilai hormat, melainkan mengembalikan makna hormat yang sejati, yakni penghargaan tulus yang lahir dari kesadaran, bukan dari keterpaksaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI