Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Alim-Ulama dan Allamah

23 September 2018   23:10 Diperbarui: 24 September 2018   08:15 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: republika.co.id

Kelima, dalam tradisi masyarakat Indonesia atau nusantara, khususnya di Jawa, seseorang yang memahami ilmu-ilmu keagamaan justru lebih akrab disebut kiai. Dan kalau dirujuk, kata kiai aslinya juga memiliki konotasi yang berbeda. Sebab dalam tradisi keraton, gelar kiai (dipanggil Pak Yai) biasanya disematkan kepada seseorang yang memiliki keahlian spiritual tertentu.

Keenam, selain kata ulama, kita juga akrab menggunakan kata ustadz, yang juga dipahami sebagai orang yang paham soal agama, dan umumnya disematkan kepada ulama yang relatif lebih junior, baik dari segi umur atau keilmuan. Tapi saat ini, banyak juga ustadz muda yang lebih populer dengan sebutan kiai.

Padahal, dalam bahasa Arab modern, kata ustadz lazim dimaknai professor di dunia akademik. Namun, kata ustadz kadang juga digunakan sebagai panggilan atau sapaan kehormatan kepada siapapun (catatan: dalam bahasa Jerman, kata profesor adalah panggilan atau sapaan penghormatan kepada siapapun).

Ketujuh, acuan dasar tiap gelar sosial adalah konsensus (baca: kesepakatan komunitas). Gelar ulama, kiai dan ustadz bukan gelar akademik, dan karena itu, penggunaannya bisa sangat lentur, tanpa acuan yang baku. Saya mengenal banyak orang yang digelari kiai, tapi sebenarnya belum pantas, alias terlalu dipaksakan. Seperti halnya banyak orang memaksakan diri disebut ustadz.

Kedelapan, dalam tradisi keilmuan Islam, ada beberapa istilah lain yang senada dengan alim/ulama, namun lebih berkonotasi spesialisasi: faqih (orang menguasai ilmu fiqhi); ada juga mutakallim (orang yang menguasai ilmu kalam atau teologi); ada ushuly (orang yang menguasai ilmu ushul-fiqhi); mufassir (orang yang pakar di bidang tafsir Quran); muhaddits (ahli hadits). Masing-masing faqih, mutakallim, ushuly, mufassir dan muhaddits pastilah layak disebut ulama.

Dan dalam sejarah Indonesia, ulama memang umumnya muncul dari pesantren. Tapi ini soal spesialisasi saja. Analoginya, lulusan fakultas ekonomi diasumsikan akan menjadi ahli ekonomi, jebolan jurusan sosiologi cenderung akan menjadi sosiolog. Namun selalu ada pengecualian. Ada sosiolog yang fasih berbicara soal ekonomi moneter, atau sebaliknya, meski mungkin tidak memiliki otoritas keilmuan.

Demikian juga, jebolan pesantren kan tak mesti menjadi ulama. Banyak jebolan pesantren yang lebih lincah berbicara soal politik dan pantas menjadi politisi, atau fasih berbincang ekonomi mikro dan layak menjadi ekonom mikro. Ketika ada ulama yang bicara soal ekonomi dan politik, para jebolan fakultas ekonomi dan jurusan politik nggak tersinggung tuh.

Lagi pula, kepakaran dalam satu bidang ilmu tidak mesti didapatkan melalui lembaga pendidikan. Sebab setiap orang dimungkinkan menguasai satu disiplin ilmu melalui otodidak.

Kesembilan, dalam kajian ilmu mantiq (logika), biasanya ada sub-judul yang mengutip dan membahas tentang 10 (sepuluh) syarat prinsipil yang harus dipenuhi agar seseorang dapat disebut ulama/alim yang menguasai satu disiplin ilmu:

Ke-10 syarat tersebut diringkas oleh Muhammad Ali Ash-Shibyan melalui tiga bait syair:

(Inna mabadi'a kulli fannin asyaratun# Alhaddu wal-maudhu'u tsumma ats-tsamratu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun