Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Alim-Ulama dan Allamah

23 September 2018   23:10 Diperbarui: 24 September 2018   08:15 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: republika.co.id

Mendadak, wacana tentang ulama mengemuka. Dan semua orang tampak merasa berhak nimbrung mengomentarinya. Meski banyak juga yang malah merasa tersinggung. Sebagian kecil berpartisipasi dengan pemahaman yang  memadai. Namun sebagian besar berbincang tentang ulama berdasarkan persepsi warisan. Bahkan ada yang latah nimbrung dengan cuma mengandalkan rasa. Akibatnya mudah diduga: wacananya gampang melenceng tak karuan. Apalagi wacana itu sudah ditimpali sentuhan politis. Makin jadi, deh.

Dan mencermati perbincangan tentang ulama, terkesan bahwa masih banyak orang yang ternyata "belum selesai" mengenai ulama bahkan di kalangan orang yang diasumsikan "telah selesai". Sekedar nimbrung juga, artikel ini akan coba mengulas beberapa poin tentang pengertian dan pemahaman dasar tentang ulama:

Pertama, dari segi bahasa, kata ulama adalah bentuk kata pelaku plural (jama') dari kata alim (bentuk tunggal), yang arti dasarnya adalah "orang yang mengetahui" atau "orang berpengetahuan". Jadi alim dan ulama, secara bahasa bermakna sama.

Dan seperti diketahui, alim adalah salah satu sifat Allah (asmaul-husna), yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia biasa ditambahi kata Maha: Maha Mengetahui. Di dalam Quran ada ayat yang dirumuskan dengan kalimat pertanyaan: "Apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS Az-Zumar, ayat 9). Kalimat pertanyaan seperti ini yang dikenal dalam ilmu tafsir sebagai "pertanyaan yang menafikan": artinya  "Tidak sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui".

Kedua, dalam bahasa Arab modern, kata alim atau ulama lebih sering digunakan dengan konotasi scientist (ilmuwan), yakni orang yang pakar dalam ilmu-ilmu eksak seperti fisika, kimia, nuklir dan sejenisnya.

Bahkan ada kata bahasa Arab yang biasa disematkan kepada seseorang yang benar-benar pakar dalam bidang spesialisasinya, yaitu 'allamah, yang bermakna orang yang sangat matang dalam ilmu spesialisasinya.

Ketiga, dalam bahasa Indonesia, alim dan ulama sering digunakan dengan nuansa perbedaan. Kata alim (bentuk tunggal) lebih dimaknai orang yang shaleh atau taat beragama. Padahal, dalam bahasa Arab, kata alim tak pernah dimaknai taat (kecuali kalau diasumsikan bahwa setiap alim/ulama pasti taat, meski kenyataannya tidak demikian).

Sementara kata ulama (yang aslinya bentuk jama'/plural) lebih sering dimaknai tunggal, lalu disematkan kepada seseorang, yang dianggap memahami ilmu-ilmu keagamaan. Nuansa perbedaan makna ini (antara alim dan ulama), tidak ada dalam bahasa Arab.

Keempat, dalam kajian-kajian pergerakan, ada ungkapan yang mengatakan "alim (orang berilmu) yang amil (mengamalkan). Sebuah ungkapan yang menyindir bahwa banyak orang berilmu namun tidak mengamalkan ilmunya. Artinya, tidak semua ulama taat menjalankan seluruh tuntunan agama (ulama kan manusia juga).

Namun ketidaktaatan dalam mengamalkan ilmu agama tidak serta merta menggugurkan gelar keulamaan. Mungkin hanya akan kurang berkah saja, atau ulama itu akan kehilangan marwahnya di mata umat. Dan itulah hukuman sosial paling berat bagi seorang ulama.

Hanya memang ada ayat Quran yang menegaskan bahwa "Hanya ulamalah yang takut kepada Allah swt," (QS Fathir, ayat 28). Ayat ini diawali dangan kata innama () yang mengandung arti pembatasan yang sangat ketat. Artinya, ketaatan maksimal dalam beragama hanya mungkin direalisasikan dengan ilmu. Dan boleh juga diartikan, jika ada ulama yang tidak taat, berarti ilmunya hanya bersifat teknis, tidak dalam bentuk pendalaman spiritual.

Kelima, dalam tradisi masyarakat Indonesia atau nusantara, khususnya di Jawa, seseorang yang memahami ilmu-ilmu keagamaan justru lebih akrab disebut kiai. Dan kalau dirujuk, kata kiai aslinya juga memiliki konotasi yang berbeda. Sebab dalam tradisi keraton, gelar kiai (dipanggil Pak Yai) biasanya disematkan kepada seseorang yang memiliki keahlian spiritual tertentu.

Keenam, selain kata ulama, kita juga akrab menggunakan kata ustadz, yang juga dipahami sebagai orang yang paham soal agama, dan umumnya disematkan kepada ulama yang relatif lebih junior, baik dari segi umur atau keilmuan. Tapi saat ini, banyak juga ustadz muda yang lebih populer dengan sebutan kiai.

Padahal, dalam bahasa Arab modern, kata ustadz lazim dimaknai professor di dunia akademik. Namun, kata ustadz kadang juga digunakan sebagai panggilan atau sapaan kehormatan kepada siapapun (catatan: dalam bahasa Jerman, kata profesor adalah panggilan atau sapaan penghormatan kepada siapapun).

Ketujuh, acuan dasar tiap gelar sosial adalah konsensus (baca: kesepakatan komunitas). Gelar ulama, kiai dan ustadz bukan gelar akademik, dan karena itu, penggunaannya bisa sangat lentur, tanpa acuan yang baku. Saya mengenal banyak orang yang digelari kiai, tapi sebenarnya belum pantas, alias terlalu dipaksakan. Seperti halnya banyak orang memaksakan diri disebut ustadz.

Kedelapan, dalam tradisi keilmuan Islam, ada beberapa istilah lain yang senada dengan alim/ulama, namun lebih berkonotasi spesialisasi: faqih (orang menguasai ilmu fiqhi); ada juga mutakallim (orang yang menguasai ilmu kalam atau teologi); ada ushuly (orang yang menguasai ilmu ushul-fiqhi); mufassir (orang yang pakar di bidang tafsir Quran); muhaddits (ahli hadits). Masing-masing faqih, mutakallim, ushuly, mufassir dan muhaddits pastilah layak disebut ulama.

Dan dalam sejarah Indonesia, ulama memang umumnya muncul dari pesantren. Tapi ini soal spesialisasi saja. Analoginya, lulusan fakultas ekonomi diasumsikan akan menjadi ahli ekonomi, jebolan jurusan sosiologi cenderung akan menjadi sosiolog. Namun selalu ada pengecualian. Ada sosiolog yang fasih berbicara soal ekonomi moneter, atau sebaliknya, meski mungkin tidak memiliki otoritas keilmuan.

Demikian juga, jebolan pesantren kan tak mesti menjadi ulama. Banyak jebolan pesantren yang lebih lincah berbicara soal politik dan pantas menjadi politisi, atau fasih berbincang ekonomi mikro dan layak menjadi ekonom mikro. Ketika ada ulama yang bicara soal ekonomi dan politik, para jebolan fakultas ekonomi dan jurusan politik nggak tersinggung tuh.

Lagi pula, kepakaran dalam satu bidang ilmu tidak mesti didapatkan melalui lembaga pendidikan. Sebab setiap orang dimungkinkan menguasai satu disiplin ilmu melalui otodidak.

Kesembilan, dalam kajian ilmu mantiq (logika), biasanya ada sub-judul yang mengutip dan membahas tentang 10 (sepuluh) syarat prinsipil yang harus dipenuhi agar seseorang dapat disebut ulama/alim yang menguasai satu disiplin ilmu:

Ke-10 syarat tersebut diringkas oleh Muhammad Ali Ash-Shibyan melalui tiga bait syair:

(Inna mabadi'a kulli fannin asyaratun# Alhaddu wal-maudhu'u tsumma ats-tsamratu.

Wa fadhluhu wa nisbatun wal-wadhi'u# wal-ismu al-istimdadu, hukmu-ssyari'i.

Masailu walba'dhu bil-ba'dhi iktafa# wa man dara-l-jami'a haza-ssyarafa).

"Bahwa untuk menguasai satu disiplin ilmu harus ditelaah dalam 10 syarat prinsipil: (1) defenisi (terminologi dan etimologinya), (2) tema dasar kajiannya; (3) manfaatnya, (4) keutamaannya; (5) korelasinya dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya; (6) perumusnya atau pencetusnya; (7) nama ilmunya; (8) sumbernya (nash atau akal atau kombinasi keduanya); (9) hukum mempelajarinya (wajib, haram, sunnah, makruh, mubah); (10) persoalan-persoalan yang dibahasnya, yang saling melengkapi dan tekait. Siapapun yang menguasai ke-10 prinsip itu akan meraih kemuliaan".

Artinya, untuk menjadi ulama dalam satu bidang ilmu agama saja, tidaklah mudah dan pasti bukan proses sehari-dua-malam, dengan mantra sim salabim.

Kesepuluh, bahwa kealiman atau keulamaan tidak berkorelasi positif dengan model pakaian (serban, gamis, songkok, baju koko, sarung dan segala turunannya). Sebab pakaian lebih sebagai tradisi saja. Dan tiap tradisi adalah hasil atau muncul dari konsensus komunitas.

Namun, tidak salah juga memang bila ada yang meyakini bahwa model pakaian sedikit-banyak akan menambah aura tertentu bagi seorang ulama (Ilustrasi: ada khatib Jumat bertopi koboi, berbaju singlet dan bercelana training. Secara hukum sebenarnya nggak ada persoalan. Tapi jemaah Jumat bisa dipastikan tidak akan menerimanya).

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan, menjadi ulama itu, selain sulit dan secara sosial bisa saja menjadi faktor yang memuliakan seseorang, namun juga dapat menjadi beban moril tak tertanggunkan. Makanya heran juga bila ada orang, siapapun dia, yang terkesan seolah bangga mengemis disebut ulama.

Syarifuddin Abdullah | 23 September 2018/ 13 Muharram 1440H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun