Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Operasi "Oplan Tokhang” di Filipina dan Kejahatan Kemanusiaan

12 Februari 2018   09:09 Diperbarui: 13 Februari 2018   09:15 1301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: .newvision.co.ug

Serupa hanya mungkin tak sama persis. Operasi pemberantasan Narkoba di Filipina yang dikomandoi langsung oleh Presdien Rodrigo Duterte agak mirip dengan operasi Petrus (penembakan misterius) di Indonesia pada paruh awal tahun 1980-an.

Sejak menjabat Presiden ke-16 Filipina pada 30 Juni 2016, Duterte langsung mencanangkan program war on drug, memerangi bandar dan pedagang ilegal Narkoba, dengan sandi operasi Oplan Tokhang.

Diduga, selama 19 bulan terakhir, operasi itu telah menewaskan 4.000 orang, sebagian besar kalangan warga miskin, sejak Duterte menjabat Presiden pada 2016. Pengacara memperkirakan jumlah korban tewas bisa dua kali lebih banyak.

Pada Februari 2018, International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Kejahatan Pidana Internasional, menegaskan akan memulai penyelidikan pendahuluan terkait dugaan pelanggaran dan kejahatan kemanusiaan yang diduga dilakukan oleh Rodrigo Duterte dalam melaksanakan operasi pemberantasan narkoba.

Yakin dengan kebijakan dan tindakannya, Duterte malah menyambut rencana penyelidikan ICC. Pada 8 Februari 2018, Jubir Kepresidenan Filipina, Harry Roquem mengatakan, "Presiden menyambut baik, karena sudah bosan dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan."

Lain Filipina dan lain Indonesia. Di Indonesia resmi disebut Operasi Clurit, namun lebih populer dengan sebutan Petrus (penembakan misterius). Sementara di Filipina dinamai Oplan Tokhang (bahasa Tagalog yang berarti mendekati dan berbicara. Atau himbauan untuk menyerah dan menghentikan perdagangan Narbkoa).

Tidak ada yang bisa memastikan berapa sudah jumlah korbannya. Beberapa sumber menyebutkan, operasi Petrus Indonesia yang berlangsung sekitar tiga tahunan (1983 s.d 1985), konon menelan lebih dari 700 orang tewas. Sementara operasi Oplan Tokhang, hanya dalam tempo sekitar 19 bulan, hasilnya sudah lebih dari 4.000 orang. Ada sumber yang menyebutkan angka fantastis yang berlipat-lipat: 13.000 orang tewas. Wow.

Awalnya, Oplan Tokhang diagendakan paling lama berlangsung selama 6 bulan. Tapi agaknya, perkiraan awal tentang jumlah target operasi tidak begitu cermat, dan akhirnya diputuskan berlanjut. Jika Petrus menyasar pelaku kejahatan besar secara umum, Oplan Tokhang lebih fokus kepada pelaku dan praktisi perdagangan ilegal narkoba (bandar, pedagang, beking dan mungkin penggunanya). Artinya, Oplan Tokhang berhadapan dengan mafia dengan segala kompleksitasnya.

Pada awal 2017, setelah berjalan beberapa bulan, Duterte sempat menghentikan sementara operasi Oplan Tokhang. Pemicunya, seorang pebisnis asal Korea Selatan terbunuh dalam sebuah operasi Oplan Tokhang. Tapi setelah itu, lanjut lagi. Kasus lain, seorang anak belasan tahun tewas dalam tahanan polisi pada akhir August 2017, yang kemudian memicu aksi protes anti-Tokhang pada September 2017.

Tapi sesungguhnya, Oplan Tokhang tak pernah berhenti, hanya dilakukan secara senyap. Mungkin karena dianggap efektif, pada 29 Januari 2018, secara terbuka polisi Filipina mengumumkan kembali aktifnya operasi Oplan Tokhang dengan SOP baru untuk memenuhi tuntutan publik. Polisi Filipina menegaskan, sebanyak 2,127 operasi Tokhang dinyatakan berhasil dan memaksa 821 bandar dan pedagang Narkoba menyerah.

Tudingan dan protes terkait dugaan kejahatan kemanusiaan tentu bermunculan, baik terhadap Petrus ataupun Oplan Tokhang. Tapi protes itu terkesan sayup-sayup. Dan jika dicermati, meskipun diasumsikan telah terjadi collateral damage (korban sampingan) selama operasi, respon publik Filipina tetap saja terkesan "bisa memahami".

Salah satu alasannya: sebagian besar target operasinya adalah mereka yang diidentifikasi sebagai penjahat jagoan Narkoba. Dan sekali lagi, polisi berhadapan dengan dengan mafia, yang diasumsikan juga akan bertahan dan mempertahankan bisnis narkobanya sampai titik darah penghabisan. Oplan Tokhang tampaknya telah diposisikan sebagai bagian dari perang, yang hanya menawarkan dua pilihan, yang tak ada tiganya: to kill or to be killed (membunuh atau terbunuh).

Tampaknya, karena itulah, Catholic Bishops' Conference di Filipina mendesak Polisi untuk fokus pada agenda yang menjadi perhatian dan kepentingan masyarakat, bukan malah memperagakan semacam pertunjukan teater dengan cara melibatkan item dan simbol-simbol keagamaan dalam operasi Oplan Tokhang.

Salah satu kekhawatiran publik dan pegiat kemanusiaan adalah Oplan Tokhang dapat dijadikan kamuflase untuk menteror lawan-lawan politik. Tapi protes dan rencana penyelidikan awal terhadap Oplan Tokhang sebenarnya justru lebih dulu dan telah digunakan sebagai kamuflase politik untuk mendiskreditkan Duterte dan pemerintahannya.

Seolah menantang rencana investigasi ICC, pada 8 Februari 2018, Duterte mengatakan, "Shoot me, dont jail me" (tembak saja saya, tapi jangan memenjarakan saya). Duterte mengirim pesan tegas: lebih memilih menghadapi berondongan peluru. Dan itu berarti tim ICC akan menghadapi resistensi yang kuat dari pemerintahan Duterte.

Syarifuddin Abdullah | 12 Februari 2018 / 27 Jumadil-ula 1439H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun