Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pasar Tradisional dan Fenomena Desa

9 Januari 2019   16:43 Diperbarui: 10 Januari 2019   17:11 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana salah satu sudut Pasar Manis Karangmoncol Purbalingga. Dokpri

Pasar ilang kumandange begitu ramalan orang Jawa Kuno, yang bagi masyarakat Jawa sudah akrab di telinga.  Suatu prediksi jangka panjang tentang akan terpinggirkannya pasar, dalam arti tempat ini sepi.

Orang-orang tak ramai belanja di sini. Sehingga kumandang atau suara-suara mereka saat berada di pasar hilang. Pasar yang sepi berarti fungsinya sebagai tempat jual beli menurun.

Ramalan itu makin mendekati kebenarannya saat kita bertandang ke pasar-pasar tradisional di pedesaan. Para pedagang mengeluh sepinya pembeli. Bagi mereka yang puluhan tahun berdagang di sana merasakan perubahan itu.

Bahkan yang terjadi, jumlah pedagang tambah banyak dengan berbagai jenis dagangan. Tetapi tidak sebanding dengan jumlah pengunjung pasar.  Tentu saja, ini sebatas pengamatan saya yang sering keluar masuk pasar tradisional di pedesaan sekitar tempat tinggal.  Tapi siapa tahu ini gejala yang tengah melanda di tempat lain.

Pedagang biji bibit tanaman menggelar lapak di emper kios pasar. Dokpri
Pedagang biji bibit tanaman menggelar lapak di emper kios pasar. Dokpri
Zaman dulu, pasar tradisional sangat diandalkan sebagai magnet ekonomi. Orang-orang dari berbagai penjuru datang untuk berbelanja kebutuhan. Pasar tumpah ruah penuh aneka dagangan. Dari makanan siap santap, aneka sayuran mentah dan sejenisnya, hingga perkakas rumah tangga dari kayu dan bambu. Pokoknya, semua yang dibutuhkan hampir tersedia di situ.

Pasar tradisional bukan saja tempat bertemu penjual dan pembeli. Sikap dan perilaku orang tercecer di sana pula. Kita akan menemukan pembeli "kejam"yang menawar sampai titik darah penghabisan. Seperti hendak menghalangi pedagang yang ingin untung.

Ada juga orang yang enggan menawar karena tak tega. Kecuali jika belanja banyak. Ada penjual yang mudah tersinggung jika ada orang mendekat tapi tak beli.  Ada yang menerima sebagai hal wajar.

Aneka cara digunakan oleh penjual untuk laris. Dari kesantunan yang ditunjukkan lewat ucapan, berpakaian yang tidak asal-asalan, hingga penggunaan "penglaris" yang di dapat dari mendatangi tempat keramat ataupun "orang pintar". Begitulah strategi dagangnya.

Dalam masyarakat Jawa dikenal lima hari pasaran, yaitu manis, paling, pon, wage, kliwon.  Nama pasar biasanya berdasar kelima hari itu.  Dan di saat hari pasaran  itulah keramaian lebih kentara ketimbang hari biasa. Apalagi jelang Idul fitri, ramainya bukan main yang disebut sebagai prepegan.

Keramaian pasar begitu ditunggu, bukan saja oleh pedagang barang dan hewan ternak. Banyak orang yang menjual jasa di sana. Tukang jahit, tukang patri, juga tukang cukur dan tukang arloji. Semua mencari peruntungan dari keramaian pasar itu.

Sekarang berbeda. Lambat dan pasti telah terjadi perubahan. Ada beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebabnya.  

Pertama perkembangan infrastruktur. Saya mengamati makin ke sini jalan-jalan di pedesaan semakin bagus. Lebar dan beraspal. Kendaraan sekelas mobil akan mudah melintas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun