TULISAN ini lebih merujuk pada keprihatinan seorang yang terlahir dan dibesarkan dalam budaya Jawa.  Prihatin dengan semakin banyaknya anak-anak  kita, generasi penerus yang sudah mulai tidak menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa Jawa.  Di berbagai tingkatan kegiatan, mereka lebih kerap memilih bahasa Indonesia sebagai sarana percakapan keseharian.
DALAM pengamatan saya, keadaan ini tidak hanya terjadi di perkotaan, tapi sudah merangsak ke pedesaan.  Artinya  adalah, bahasa Jawa sedang mengalami peminggiran oleh mereka yang notabene pemilik bahasa Jawa itu sendiri.  Tentu masih butuh kajian yang mendalam tetang seberapa besar  proses ini tengah berlangsung.
MARI kita coba perhatikan, orang tua yang berasal dari Jawa, tinggal di daerah Jawa tetapi menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan mereka sehari-hari.  Rasanya aneh bahkan "wagu"/ tidak enak dilihat dan dirasakan.  Apa yang terjadi dengan keadaan yang demikian?  Anak akan dijauhkan dari proses pembelajaran budaya Jawa.  Karena cara mendidik anak-anak agar bisa berkarakter "kejawaan" adalah melalui bahasa.  Di dalam bahasa ada rasa berbahasa, yang seringkali sulit untuk dipadankan dengan bahasa Indonesia.  Maka sesungguhnya, dengan berbahasa Jawa, maka nilai-nilai  sosial budaya lebih mudah termaknai.  Tentu timbul pertanyaan, bagaimana dengan pelajaran bahasa Jawa di sekolah?  Bagi saya proses di sekolah memiliki waktu  dan materi yang terbatas, sehingga butuh wahana lain yaitu keluarga dan lingkungan lain.
BEBERAPA hal yang menurut saya menjadi sebab keadaan ini adalah:
1.  Penilaian bahwa mempelajari bahasa Jawa adalah sulit.  Kesulitan itu berkenaan dengan adanya tingkatan    dalam penerapannya.
2. Â Berkembangnya sarana informasi dan komunikasi melalui berbagai bentuk media yang menggunakan bahasa Indonesia, Â sehingga orang lebih terampil berbahasa Indonesia daripada bahasa Jawa.
3. Â Proses belajar-mengajar yang semenjak dari PAUD sudah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, maka anak menjadi lebih terlatih baik secara tutur dan pendengaran dengan bahasa itu.
4. Â Pergeseran nilai sosial ekonomi yang ada di tengah masyarakat, yang ditandai dengan meningkatnya jumlah kelas menengah ke atas, Â menciptakan generasi baru yang memiliki gaya hidup tersendiri. Â Gaya yang moderen, yang ditandai dengan penggunaan bahasa Indonesia di dalam keluarga. Â Merekalah "trend setter", yang akhirnya ditiru oleh banyak orang.
5. Â Sudah mulai pudarnya rasa memiliki bahasa Jawa, justru oleh "orang yang mengaku Jawa". Â Tentu bukan dalam arti membuangnya, tetapi lebih pada kepedulian untuk melestarikan, yang diwujudkan dalam keseharian.
MUNGKIN saja keprihatin saya ini juga dirasakan oleh banyak orang Jawa lainnya.  Mereka yang masih peduli dengan bahasa indah yang telah Tuhan berikan kepada kita.  Jangan sampai lima puluh tahun ke depan kita harus gigit jari, karena harus mencari kemana bahasa Jawa yang dulu ada?  Maka cara paling mudah dan sederhana adalah dengan  "BERTUTUR" dan "MENULIS" dalam bahasa Jawa.  Selanjutnya adalah  menumbuhkan kebanggaan menggunakan bahasa ibu (Jawa) sebagaimana juga terhadap bahasa lain.
JIKA saja semakin ke depan semakin sedikit orang tua yang memberi perhatian terhadap masalah ini, dan anak-anak semenjak balita hingga memasuki masa remaja "diasingkan" oleh lingkungan terdekatnya untuk menggunakan bahasa Jawa,  maka sesungguhnya keberadaan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu hanya sampai di sini!  Ini akan menjadi caratan sejarah yang berbunyi, " Dulu di Indonesia ada bahasa besar, bahasa  yang indah yaitu Bahasa Jawa".  Semoga tidak terjadi.