Mohon tunggu...
S. R. Wijaya
S. R. Wijaya Mohon Tunggu... Editor - Halah

poetically challenged

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bunuh Diri, Wanprestasi

4 November 2010   13:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:51 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alkisah, dia hobi main judi mesin di Grogol. Suatu kali, di saat matanya sudah lebam runyam akibat begadang 2 malam berurut ditambah efek anggur cap Rajawali yang botolnya berbaris di kap mesin, dia mau menyerah pulang. Tapi seekor setan di sisinya (bukan saya, lho) berbisik: Udeh, ‘nanggung amat lu cabut, pake aje dulu tu biji, emang lu pengen kerokan ape di rume?

Dus masuklah itu koin ke dalam slot. Putar punya putar, 10 detik kemudian 200 keping koin berhamburan keluar kaya bubaran anak SD dari tudung output, sampai dia kelabakan ‘mungutnya. Tentu kantuk raib sekejap kalau sudah begitu. Lantas dia pindah ke blackjack buat menambahi lagi sejumlah 3 juta ke kantongnya hanya dalam 25 menit. Setelah saya ingatkan besok hari Minggu dan berarti dia harus ke gereja (alim kan saya), barulah dia angkat pantat, pulang dan tidur sambil senyum-senyum bahagia.

Moral dari cerita ini adalah: Legalkan perjudian (lho, salah ya?). Maaf, maksud saya, selalu ada peluang yang kita tak pernah ketahui untuk, menyitir Anwar, "berjaga terus di garis batas pernyataan dan impian”.

Hidup adalah satu pernyataan eksistensi teramat sangat monumental. Manusia lahir dengan melewati peluang matematis amat tipis untuk tetap bertahan hidup hingga detik ini: Debu kosmik yang dibangkitkan jadi senyawa protein hayati; seekor ikan kecil beruntung dan berenang paling cepat dari ribuan di sperma, karena itu ia layak dijaga. Impian ialah harapan itu sendiri, tak lain. Harapan adalah satu-satunya ciri yang membedakan kita dari anggota kerajaan animalia lainnya.

Bermain-main dalam batas antara keduanya, "berjaga", sepertinya sangat menyenangkan. Satu seni berkelas tingkat tinggi. Hanya seniman bermartabat yang bisa. Semoga itu Anda.

.


***

Memang selalu ada kebesaran dalam tindak bunuh diri. Saya mengakui hak tiap orang untuk jadi martir demi suatu tujuan besar, atau bahkan tidak untuk apa-apa sekalipun. Orang bebas menentukan harga-harga untuk dirinya sendiri. Bebas memilih makna-makna yang dijadikannya sumber acuan dan tujuan. Bebas pilih hidup atau mati. Dan memang bunuh diri itu penuh keindahan. Saya takjub dan angkat topi. Tapi barangkali seni hidup hanya sesederhana memilih antara nilai goceng atau tak terhingga. Kalau cuma goceng, ya sudah…matilah saja. Kalau memang soal asmara, rasa malu atas kegagalan, kesumpekan perjuangan (ini khusus buat ente-ente teman ane yang pegawai NGO romantik), yang remeh-temeh menurut saya, maaf, begitu dihargainya sampai dijadikan alasan putus asa sampai mati, padahal sebetulnya cuma senilai goceng, well, Anda mungkin keliru memilih berhala. Jika saja Anda tak gampang mundur, siapa tahu Anda bisa pulang bawa 4 juta.

Begitupun seterusnya untuk soal tak terhingga seperti ketuhanan dan kemanusiaan. Kalau Anda rela mati bagi keduanya, bahkan mati sambil mengajak orang lain yang tak tahu apa-apa, jangan-jangan Anda sudah mempertautkan ego picisan Anda dengan kebenaran, yang Anda klaim sendiri. Ealah, memang Anda ini siapa, kok lancang amat mengangkat diri ke tingkat seolah mau jadi pengacara Tuhan dan kemanusiaan? Semua orang rendah hati akan berpikir Anda manipulasi ceban, alias goceng kali dua.

***

Dulu itu, sejujur-jujurnya, saya batal bunuh diri karena takut. Bukan takut neraka karena waktu itu saya tak percaya konsep neraka. Saya hanya ngeri membayangkan kekecewaan luar biasa yang bisa terjadi di diri para anggota keluarga. Lagipula tempat tinggal saya dulu dekat rumah sakit dan kuburan, jadi saya pikir enggak seru amat mayat saya nanti enggak bisa banyak jalan-jalan. Sekarang saya tak punya pikiran untuk bunuh diri lagi. Mungkin karena saya kebetulan suka menuntut diri, mencari-cari dalih kenapa berharap itu mungkin. Semacam mendisiplinkan harapan, begitulah, dalam bahasa prokemnya. Awalnya susah. Tapi lama-kelamaan semua jadi biasa. Asal masih bisa makan nasi dan tempe saja, saya yakin kebutuhan otak akan nutrisi buat berharap sudah tercukupi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun