Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"1917" dan Panggung Besar Humanisme dalam Narasi Perang

27 Januari 2020   14:43 Diperbarui: 28 Januari 2020   05:35 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagian adegan pembuka yang monumental dalam film--screenrant.com

Di abad pertengahan, orang rela mati demi agama, membela atas nama titah tuhan dan dewa yang suci. Di abad modern, orang rela mati demi negara-bangsa, membela atas nama ideologi tertentu, bahkan humanisme itu sendiri. Agama dan negara-bangsa sama-sama menjadi fiksi kolektif umat manusia.

Ini juga terjadi pada Indonesia dan negara-negara lain di dunia. Coba tengok film-film perang kemerdekaan Indonesia, rasa-rasanya simbol kepahlawanan dan patriotisme yang diselipkan sudah sangat jamak. 

Tak selamanya buruk, memang. Tetapi ketika sudah cukup kenyang membicarakan kemenangan, kita bisa dibuat amnesia dalam arus sejarah.

Menarik bahwa dalam 1917, tokoh Scho mematahkan angan-angan heroisme itu. Dalam percakapan di no-man's land yang cukup aman, ia mengaku pada Blake kalau medali yang pernah didapatkannya sudah ditukar dengan wine. 

Blake terperangah dan sebal, kalau disederhanakan kira-kira ia ngomel-ngomel begini, "Eh, gila ya loe! Itu medali, cuy, dapetnya susah payah. Itu simbol kepahlawanan kita sebagai prajurit terbaik!"

Scho sama sekali tidak tertarik dengan gagasan heroisme. Baginya, medali itu hanyalah logam biasa, tak punya nilai intrinsik tertentu. Ia mempertanyakan kembali makna perang, apa yang sesungguhnya ia perjuangkan dan kenapa ia harus berperang.

Kalau tidak keliru, ada momen di mana Scho sempat ngedumel kepada Blake, kenapa harus dirinya yang dipilih menemani Blake untuk sebuah misi bunuh diri. 

Pikiran Blake masih nyangkut dalam angan-angan heroisme, ia pikir akan diberi tugas dan misi besar oleh sang Jenderal. Blake mengharapkan penghargaan agar namanya tersemat titel prajurit terbaik.

Kadang untuk menghindari gagasan heroisme, ada usaha untuk menempatkan tokoh yang berasal dari kalangan rakyat sebagai pemeran utama. Cara ini punya alasan kuat, bagaimana pun seorang prajurit tetaplah 'prajurit', ia masih punya kuasa jika dibandingkan dengan rakyat sipil dan sebagian prajurit yang mabuk heroisme itu ada saja memanfaatkan privilese ini.

Saya pernah mengulas film Forbidden Games (Jeux Interdits, 1952) (baca di sini), salah satu film anti-perang terbaik menurut saya. Tokoh utamanya anak kecil. Suasananya sedikit komedi tapi gelap. 

Kita bisa menangkap kepolosan psikis anak-anak yang menjadi korban keganasan perang. Forbidden Games hanya sedikit menampilkan adegan serangan perang, tanpa mengekspos kebrutalan, tanpa kehadiran tokoh-tokoh tentara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun