Mohon tunggu...
Ryutaro Siburian
Ryutaro Siburian Mohon Tunggu... Lainnya - Pegawai

Pemerhati pemerintahan, asuransi dan ekonomi politik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dukung Meritokrasi ASN

27 Juni 2021   09:15 Diperbarui: 27 Juni 2021   09:23 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Saya terpancing dengan tulisan Guru Besar Ilmu Administrasi Publik Universitas Gajah Mada (UGM), Miftah Toha dalam harian Kompas 18 Juni 2021.

Dalam opini yang berjudul "Meritokrasi ASN", Miftah Toha menuliskan tentang sistem meritokrasi dalam pemerintahan.

Menurutnya, ASN harus clear dari politik praktis penguasa. Penguasa, kata Miftah, harus membedakan tendensi-tendensi politik dengan yang murni profesionalisme administrasi pemerintahan.

Ia bahkan membandingkan ASN dengan TNI dan Polri. Dalam kepemiluan, misalnya, harus jauh dari pelibatan ASN di dalamnya sebagaimana TNI dan Polri.

Dalam praktiknya, sistem meritokrasi untuk ASN di Indonesia pernah urung dilakukan. Tepatnya pada era Orde Baru.

Kala itu, menurut Miftah, keahlian dan profesionalisme hanya sesuai persepsi dan keinginan pemegang kekuasaan saja. Netralitas, katanya, digantikan oleh faktor kedekatan saja.

Kondisi ini tidak lebih baik walaupun ada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). UU ini

Miftah berpendapat, kekuasaan jabatan yang diisi oleh orang-orang partai politik membuat birokrasi pemerintahan menjadi subordinasi jabatan politik. Sehingga sistem meritokrasi pun masih belum berjalan efektif.

Contoh paling faktual dari paparan di atas, tulis Miftah, adalah seleksi pegawai di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan tegas, Miftah menyebut bahwa kasus KPK sungguh mencoreng sistem merit yang termaktub dalam UU ASN.

UU ASN menyebutkan bahwa bentuk pegawai dalam birokrasi terbagi dua, yaitu pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kontrak (P3K).

Dalam hemat Miftah, seharusnya pegawai KPK yang tidak lulus wawasan nusantara seharusnya dapat dijadikan P3K, bukan malah dipecat begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun