Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Salam Pak Silay, Selamat Hari Guru!

28 November 2016   07:19 Diperbarui: 28 November 2016   10:47 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dok Pribadi/Whatsapp grup

Ada apa di tanggal 25 November lalu? Yang pasti bukan hari jomblo nasional. Dan yang pasti banyak yang lupa bahwa di tanggal itu adalah hari guru, bertepatan dengan hari PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia).

Banyak yang lupa bukan karena tidak tahu, tapi karena adanya pengalihan isu ha..ha. Isu demo, agama dan politik yang tak kunjung habis menjelang akhir 2016.

Guru, dalam hal ini banyak sekali, bukan hanya guru sekolah, tapi juga guru agama, guru musik, bahkan montir yang menjelaskan saya soal mesin pun guru, guru bengkel. Maka untuk itu, izinkan saya untuk menuliskan sebuah memorabilia tentang seorang guru di masa sekolah.

Dahulu zaman SMP, saya pernah dididik oleh seorang guru Matematika terfavorit. Beliau bernama bapak Silalahi, beliau bukan guru biasa, tapi guru yang bisa dibilang nyentrik. Perawakannya kurus, batak abis, cuek, jauh dari kesan rapi dan senantiasa lengket dengan aroma djarum-nya yang kental.

Pak Silay, begitu ia akrab dipanggil, dikenal sosok yang "Killer". Sebuah antitesis penghobi rokok, tapi justru paling keras soal rokok ke murid. Jika ada murid yang tertangkap merokok di tongkrongan, dipastikan nasibnya tak lebih baik dari tersangka penggerebekan hotel melati.

Mereka akan dipanggil satu-persatu ketika upacara bendera. Upacara bendera yang khidmat berubah menjadi arena tontonan humor tragis. Para tersangka disuruh berdiri menghadap tiang bendera, hormat hingga jam istirahat pertama.

Tapi itu belum seberapa, yang paling klimaks dari itu semua adalah, mereka berdiri sambil menghisap rokok, tidak satu, tapi tiga hingga empat batang sekaligus. Mungkin Julis Caesar pun akan mengelus dada. Tak heran, semua murid gentar melihat sosoknya, sebandel apapun.

Kebetulan para saksi hidup kisah "rokok lapangan" masih hidup semua, dan ketika mereka ditanya, serta merta mereka akan berkata "Kami teraniaya", tentu dengan gelak tawa dibelakangnya. Gelak tawa bukan dalam arti meremehkan, tapi justru menjadi memori kami sepanjang masa.

Saya berpikir, untung tindakan itu bukan dilakukan di tahun 2016, jika ya entahlah nasib pak Silay bagaimana. Mungkin dia akan menjadi korban eksploitasi kelas pendidikan yang manja, ditambah sosial media yang selalu unyu-unyu.

Tapi dibalik itu, ada yang mengagumkan. Ada satu-dua biji sel Einstein yang tertinggal dibalik kepalanya yang lonjong, brilian dan cerdas. Sejalan dengan itu, soal-soal yang diberikannya pun selalu soal tingkat dewa, yang bahkan kami pun belum pernah melihatnya. Contohnya begini.

Selepas memberi penjelasan, Pak Silay biasanya selalu menulis sebuah soal yang harus dipecahkan. Itu biasa saja, tapi menjadi tidak biasa apabila tidak ada satupun soal yang bisa kami pecahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun