Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Krisis Venezuela di Antara Ekonomi, Revolusi, hingga Kopi Bandung

16 September 2018   11:55 Diperbarui: 16 September 2018   19:57 2435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
manado.tribunnews.com

"Maduro harus tetap bertahan" ujar kawan saya.

Baru saja saya bertemu dia, dadakan seperti tahu bulat. Di selasar LAPI ITB, namanya Elimar Chaves. Dari nama belakangnya tak asing, dia masih klan keluarga Hugo Chaves, mantan Presiden Venezuela.

Dia ke LAPI dalam rangka studi banding, dana sendiri, studinya keren, tentang kekuatan pangan Indonesia. Fokus di Ilmu Teknologi Hayati. Alasannya?

"Karena Venezuela butuh ketahanan pangan" Ujarnya sambil menyantap batagor di pinggir jalan, kali ini saya yang traktir.

Venezuela, negara yang baru dinyatakan krisis, sangat memprihatinkan kondisinya. Ayam utuh disana bisa seharga 1,5 gram emas, sayuran sekali masak seharga kita masak lebaran di Indonesia.

Antrean mengular 4-5 jam hanya untuk mendapatkan air dan beras. Itu di Caracas, ibukota Venezuela. Inflasi meningkat ratusan ribu persen, bisa melonjak menjadi 1 juta persen.

Elimar bercerita, masalah negaranya timbul akibat sekian banyak konflik. Pertama, soal minyak, Venezuela adalah negara yang sangat-sangat mengandalkan minyak dan tidak men-divestasikan bisnisnya di sektor lain. Ketika harga minyak jatuh, boom..!

Kok gitu, Timur Tengah pun mayoritas dari minyak, tapi ketika harga minyak jatuh, gak gitu-gitu amat? Yup, ini yang kedua, ujarnya. Venezuela menganut sistem sosialis yang saat ini menjadi biang kerok.

"Venezuela kaya minyak? Iya, tapi tidak kaya teknologi."

Maksudnya? Sosialis membuat negaranya menasionalisasikan seluruh aktivitas perminyakan, tanpa memberi ruang sedikitpun bagi investor (asing) untuk melakukan eksploitasi. Bagus sih niatnya, tapi tanpa didukung teknologi yang memadai, minyak di Venezuela hanya menjadi cadangan.

"Tidak ada knowledgetransfer disitu" Sambungnya.

Saya termenung, memandangi kaos Eli bergambar Cubitus warna biru usang. Saya jadi membuka kembali lembaran lama, dimana ketika era awal 2000an, Hugo Chaves begitu dielu-elukan oleh rakyat Venezuela karena sikap revolusionernya, terutama ketika revolusi Bolivarian.

November 2000, Chaves mengeluarkan Undang-Undang Ley Habilitante, dari bahasa Spanyol yang artinya "Memungkinkan bertindak". di mana UU ini memungkinkan Chaves untuk mengeluarkan dekrit, yang mana dari dekrit ini menghasilkan 49 UU yang sangat pro rakyat.

Salah satunya adalah UU reformasi agraria, dimana pemerintah membatasi kepemilikan tanah dari swasta, tuan tanah dan cukong-cukong tanah besar, dan dialokasikan untuk kepentingan petani, dimiliki negara.

Yang lebih gila lagi, UU reformasi minyak. Minyak sebagai pendapatan utama Venezuela di reformasi, di berlakukan pajak tinggi untuk asing, dari 16,6% ke 30%. Tidak tanggung-tanggung, dua kali lipat lebih.

Dari UU ini bisa ditebak, siapa yang kebakaran jenggot? Jelas para oposisi yang perutnya sudah gendut.

Chaves seperti bola liar bagi oposisi kapitalis. Ujungnya adalah percobaan kudeta, April 2002. Tapi gagal, rakyat berpihak pada Chaves, Chaves pun semakin pede dengan konsep Sosialis (tadinya tidak 100% sosialis).

Tapi dari sejarah itu, kita tahu bahwa Sosialis di dunia tidak pernah bobo nyenyak. Venezuela beda dengan China, dimana China sumber ekonominya buanyak. Dari mulai pentol korek sampai Turbine pembangkit listrik. Venezuela? Nol besar.

Seorang bahkan berkata, jika seluruh bangsa dunia dimusnahkan dan tinggal China, maka China pun tetap dapat hidup sendiri.

Venezuela tidak. Tapi Chaves tetap nekat, sayangnya tanpa pondasi ekonomi yang kuat. Minyak menyumbang 90% pendapatan negara.

Ya, Venezuela meletakkan telur dalam satu keranjang.

Batagor dipiringnya mulai habis, Eli memesan teh botol, dan saya kopi hitam. Saya bertanya, Artinya negaramu sangat rapuh? Ya, sangat rapuh. Jawabnya.

"Bahkan sekedar produk pertanian pun langka, warga kenyang disubsidi, sehingga malas kerja keras. Barang black market sangat laris, orang lebih suka hisap ganja ketimbang bertanam. Ini masuk yang ketiga," ujarnya sambil mulai membuka bungkus rokok menthol.

"Yang ketiga buat apa menanam padi, lahan milik pemerintah, kita menggarap lalu dijual dengan harga dari pemerintah, lah kita dapat apa? Hanya kurang dari 5% saja lahan kita yang ditanami, lebih enak beli jadi. Import" Ujarnya ringan.

Artinya, di sisi lain, UU reformasi agraria Chaves berbalik bagai bumerang, oke di awal, tidak oce di akhir.

Venezuela menghadapi titik riskan menjelang krisis, selain pondasi ekonomi yang rapuh, ditambah lagi utang membelit yang hanya bisa di bayar dengan minyak. Begitu harga minyak drop, bayar utang ya pakai cadangan devisa, terus-terusan, ya kolaps.

Dihantam perang dagang China-Amerika, ya mewek, mewek darah. Belum lagi tekanan oposisi yang berisik ditunggangi Amerika, percobaan kudeta terhadap Maduro berkali-kali. Capek, kapan kerjanya.

Dan isu ketahanan pangan baru digemborkan akhir-akhir ini, ketika warga harus mengantri berjam-jam. Terlambat. Trumph keburu pasang perangkap ini itu, sosialis harus enyah dari dunia, ladang minyak dikuasai US, itu petuah Trumph.

Lawan Amerika cuma satu, dan satu-satunya saat ini, China. Russia? Beresin dulu internal deh, gitu mungkin kata Trumph.

Indonesia?

"Negaramu itu surga sob, di Jakarta, semua orang sibuk, jalan macet, tidak ada yang nongkrong. disini (Bandung) pun begitu, Mahasiswa lalu lalang, proyek banyak, data ekonomi dan yang kulihat realitasnya sama. Dari kereta ku lihat padi menguning, lahan sangat luas" Ujar Elimar.

"Disana, menghisap tembakau ini seperti mimpi..apalagi ngopi," Sambungnya, wangi menthol pun berkelebat di udara.

"Tapi..semangat Chaves yang tetap kami pegang, semangat revolusi, entah sampai kapan.."

Malam hari, saya dan klobot nongkrong di teras rumah, kopi dan kretek menemani. Dua barang remeh yang entah kenapa malam ini menjadi seharga emas.

"Bot, andaikan Indonesia krisis seperti Venezuela, harga naik gila-gilaan, kau di PHK, lalu Ningsih minta putus, tindakanmu apa bot?"

Klobot bingung, dia mungkin berpikir saya kesurupan, tapi pantang baginya tidak menjawab pertanyaan saya. Sambil menyeruput kopi hitam yang sudah mendingin, Klobot menjawab diplomatis.

"Ya cari Ningsih yang lain mas.." ujarnya datar.

Indahnya negeriku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun