Mohon tunggu...
Ryan Rifat
Ryan Rifat Mohon Tunggu... Mahasiswa - UNHAN

Saya sangat tertarik untuk membaca artikel-artikel terutama mengenai sejarah, perkembangan informasi, teknologi dan sains. Akun ini saya buat sekaligus sebagai syarat salah satu perlombaan. Saya harap mungkin untuk kedepannya saya dapat melanjutkan kebiasaan menulis artikel ini.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ancaman Konflik di Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia: Perspektif, Tantangan, dan Solusi

12 Mei 2024   14:20 Diperbarui: 12 Mei 2024   20:08 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Eleven-dash line (https://www.researchgate.net/publication/269618130_The_UNCLOS_and_the_US-China_hegemonic_competition_over_the_South_Chin)

Laut China Selatan (LCS) telah menjadi pusat perhatian geopolitik global karena sengketa wilayah yang kompleks antara sejumlah negara. Ancaman konflik di Laut China Selatan dapat berdampak pada kedaulatan negara-negara yang berdekatan serta Indonesia sendiri, karena Indonesia memiliki perbatasan maritim dengan wilayah tersebut. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mempelajari ancaman konflik di Laut China Selatan terhadap kedaulatan Indonesia, memberikan solusi, dan menekankan tujuan yang jelas untuk mengatasi masalah ini dari perspektif penulis.

Sebelum masuk ke pembahasan yang lebih jauh, ada baiknya kita menelusuri terlebih dahulu sejarah penyebab terjadinya konflik di Laut China Selatan. Hal ini awalnya terjadi setelah Perang Dunia II pada tahun 1947. Saat itu, Angkatan Laut Republik China menguasai beberapa pulau di LCS yang sebelumnya dikuasai Jepang dalam perang dan dibatasi dengan 11 garis putus-putus atau disebut sebagai eleven-dash line. Pada 1950-an, dua garis putus-putus dihilangkan dari peta tersebut dan tinggal sembilan. Langkah itu diambil Perdana Menteri China Zhou Enlai dengan mengeluarkan Semenanjung Tonkin untuk kawan-kawan komunis di Vietnam Utara yang sedang berupaya melawan Vietnam Selatan yang baru merdeka dan menjadi andalan dari Blok Barat di Asia. Oleh sebab itu, eleven-dash line berubah menjadi nine-dash line dan dinyatakan bahwa wilayah yang masuk dalam lingkaran garis tersebut merupakan wilayah teritorinya termasuk Kepulauan Spratly dan Paracel.

Peta Nine-dash line (https://internasional.republika.co.id/berita/s09cgv335/filipina-malaysia-dan-taiwan-protes-peta-terbaru-cina-atas-laut-cina)
Peta Nine-dash line (https://internasional.republika.co.id/berita/s09cgv335/filipina-malaysia-dan-taiwan-protes-peta-terbaru-cina-atas-laut-cina)

Peta ini kemudian kembali ditegaskan ketika Partai Komunis berkuasa pada tahun 1953. Pengklaiman ini didasarkan pada sejarah China kuno mulai dari Dinasti Han (2 SM) hingga Dinasti Ming dan Dinasti Qing (13 SM). Aspek-aspek historis inilah yang menjadi alasan kuat bagi China untuk mempertahankan kepemilikannya. Pengklaiman 80-90%  wilayah LCS oleh China pun memantik ketegangan antara negara-negara yang berbatasan langsung dengan wilayah LCS tersebut. Negara-negara tersebut adalah Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina (mengklaim sebagian wilayah Laut China Selatan khususnya Kepulauan Spartly/Kepulauan Kalayaan dan Scarborough Shoal), Taiwan, dan Vietnam (turut mengklaim kepemilikan Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spartly) yang mendasarkan kepada aturan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Selanjutnya kita beralih ke alasan negara-negara tersebut sangat gigih dalam memperebutkan wilayah tersebut selain alasan yang didasarkan pada ZEE. Dari segi wilayah strategis, perairan ini merupakan salah satu gerbang komersial yang sangat krusial bagi sejumlah jalur pelayaran dan sebagian besar industri logistik dunia karena merupakan jalur tercepat dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia yang menghubungkan Asia Timur dengan India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika.

Menurut Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla), Laksamana Madya TNI Aan Kurnia, mengungkapkan bahwa  terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan wilayah tersebut diperebutkan pada diskusi daring yang digelar DPP GMNI pada Jumat, 26 Juni 2020.

Pertama, LCS merupakan wilayah yang banyak dilewati oleh kapal-kapal perdagangan yang mengangkut barang-barang perdagangan dan energi. Selain itu, China pun sangat bergantung pada impor minyak dari Timur Tengah yang mana 80% melalui wilayah laut. Wilayah ini juga dilalui 50% kapal tanker pengangkut minyak global. Jumlah kapal ini 3 kali lebih banyak dari kapal yang melewati Terusan Suez dan 5 kali lebih banyak dari Terusan Panama serta lebih dari setengah dari 10 pelabuhan pengiriman terbesar di dunia.

Kedua, LCS memiliki cadangan minyak sebesar 11 miliar barel dan 190 triliun kaki kubik gas yang jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan energi nasional negara. Belakangan ini pun ditemukan sebuah ladang minyak di LCS sebanyak 102 juta ton minyak ekuivalen pada Jumat 8 Maret 2024, menurut China National Offshore Oil Corporation (CNOOC).

Ketiga, potensi sumber daya alam perikanan yang cukup besar karena merupakan laut setengah tertutup dengan luas sekitar 3,5 juta kilometer persegi yang memiliki sumber pakan berlimpah seperti ikan layur, makarel, scraper hitam, teri, udang, hingga ikan kecil lainnya.

Dari ketiga faktor ini, dampak sengketa yang jelas yaitu kehadiran kekuatan militer negara besar non-claimant state seperti Amerika Serikat dan Australia yang menciptakan sejumlah dinamika internasional antara claimant state dan negara pengguna. Ancaman konflik ini terhadap kedaulatan Indonesia dapat disederhanakan menjadi beberapa hal yang akan dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, klaim wilayah yang bersaing. Negara-negara yang memiliki klaim yang tumpang tindih atas wilayah LCS dapat menciptakan ketegangan yang berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia, khususnya wilayah perbatasan maritim. Akibat dari sengketa ini, ZEE Indonesia di wilayah Laut Natuna Utara terancam karena peningkatan agresivitas China. Upaya perundingan yang semakin memperkeruh hubungan China dan Indonesia menjadikan Indonesia harus waspada terhadap ancaman China dan perlu mempertahankan wilayah Laut Natuna Utara dari ancaman China.

Kedua, eskalasi militer dan aktivitas penyelundupan. Dua hal ini tentu dapat meningkatkan risiko konflik. Indonesia menjadi rentan terhadap dampak negatif dari aktivitas-aktivitas tersebut, baik dalam hal kedaulatan maritim maupun keamanan nasional. Dalam memiliterisasi wilayah ini, pihak China memfokuskan pembangunan pangkalan militer beserta fasilitas penunjang lainnya di Pulau Spartly dan Pulau Paracel (Pambudi, 2019). Selain itu, ditempatkan pula unit paramiliternya untuk mendukung tugas pengamanan wilayah LCS. Salah satu insiden nyata yang memicu konfrontasi antar pihak otoritas keamanan kedua negara ini adalah insiden penangkapan Kapal Han Tan Chou oleh TNI AL dengan menggunakan KRI Imam Bonjol. Pihak Coast Guard China meminta untuk melepaskan kapal tersebut, tetapi ditolak. Akibatnya pihak Coast Guard tersebut melakukan manuver provokatif terhadap KRI Imam Bonjol. Insiden ini menunjukkan bagaimana pihak asing seperti Tiongkok dapat dengan mudah masuk ke dalam wilayah perbatasan Indonesia yaitu perairan Natuna Utara dengan menggunakan nelayan yang diduga adalah bentuk penyamaran dari pasukan paramiliter yang termasuk dalam bagian dari PAFMM (People Armed Force Maritime Militia) yang ditempatkan di beberapa pulau di LCS yang telah dimiliterisasi.

Ketiga, penyusupan kapal asing. Menurut Kepala Bakamla, beberapa wilayah RI berpotensi terdampak jika tensi AS-China memanas di LCS, terutama wilayah perairan Natuna Utara. Bahkan lebih parahnya penduduk di Natuna akan menjadi korban dan ikut terjun dalam konflik panas tersebut. Indonesia seharusnya tidak hanya mengklaim memiliki wilayah perairan Natuna, tetapi harus dibarengi dengan aksi nyata yang berupa hadirnya simbol negara di wilayah tersebut. Namun, ZEE tidak pernah dimaksudkan berfungsi sebagai zona keamanan dan UNCLOS juga menjamin hak lintas luas bagi kapal laut dan pesawat militer.

            Dari ketiga contoh ancaman tersebut, tentu saja ada beberapa solusi yang dapat ditawarkan demi menjaga kedaulatan NKRI di wilayah tersebut. Beberapa solusi ini sudah banyak yang diterapkan dan kedepannya dalam pelaksanaannya akan lebih baik lagi. Sebenarnya, terkait dengan konflik LCS, United Nations Convention on the Law of the Sea atau UNCLOS tahun 1982 telah memberikan guideliness terkait tata cara melakukan klaim atas wilayah/fitur tersebut untuk menyelesaikan perbedaan interpretasi melalui proses dan persyaratan yang diatur dalam Article 74 dan Article 123. Namun guideliness ini kurang dijadikan pedoman oleh setiap negara pengklaim ditambah lagi dengan kehadiran dan kepentingan negara bukan pengklaim, khususnya terkait kepastian keamanan jalur pelayaran internasional yang tidak terhambat sehingga menyebabkan masalah menjadi lebih kompleks dan rumit. Klaim ini dapat mengakibatkan terjadinya konflik yang berkepanjangan antara kepentingan negara dan kewajiban internasional terkait pemberian akses/transit di kawasan tersebut sesuai UNCLOS 1982 dan tidak terlihat solusi praktis yang sebetulnya telah tersedia dari praktik kelaziman hukum internasional. Beberapa solusi tersebut antara lain adalah:

  • Diplomasi Aktif

Upaya diplomasi ini sudah seringkali dilakukan oleh pemerintah Indonesia (Sulistyani et al., 2021). Upaya pertama yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah pengiriman nota protes kepada pemerintah Tiongkok pada tahun 2016, 2019, dan 2020 dikarenakan pelanggaran kegiatan IUU fishing kapal-kapal nelayan dan pelanggaran kedaulatan coast guard di perairan Natuna. Namun, pihak Tiongkok menyanggah dan menyatakan bahwa Tiongkok berhak secara historis dan berdaulat atas perairan di LCS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun