Mohon tunggu...
Ahmad Muhtar Wiratama
Ahmad Muhtar Wiratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Masyarakat dan Penulis Amatir dari Rawamangun

Untuk informasi lebih lanjut tentang saya, hubungi detail-detail kontak di bawah ini: Instagram: @amw.1408 Email: rwselusin@gmail.com WA: 0852.1622.4747

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Darurat Polusi Udara DKI Jakarta: Solusi Tanpa Solusi dari Pemerintah

22 Agustus 2023   09:40 Diperbarui: 22 Agustus 2023   10:03 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Belakangan ini, polusi udara berkembang dari sekedar bahaya laten menjadi ancaman nyata dalam keseharian masyarakat Jakarta. Perubahannya bahkan terlihat secara kasat mata. Jika teman-teman melihat ke langit Jakarta di daerah perkotaan pada siang hari, tidak ada lagi langit biru, berganti warna abu yang kelabu. Tidak hanya sekali dua kali, Jakarta didaulat menjadi kota dengan kualitas udara paling buruk sedunia -- sebuah prestasi yang tidak hanya memalukan, namun juga mematikan bagi warganya.

Beberapa penyebab dituding menjadi biang kerok buruknya polusi udara di ibu kota. Pelakon utamanya tentu saja adalah asap kendaraan bermotor, yang disusul oleh emisi dari PLTU yang ada di sekitar Jakarta seperti PLTU Suralaya di Banten. Kondisi ini diperparah dengan efek el nino yang membuat musim kemarau berkepanjangan di ibu kota. Karena tidak ada hujan, maka banyak sekali polutan yang beredar di atmosfer.

Darurat polusi udara di DKI Jakarta adalah berita buruk yang membuat siapapun yang membacanya menjadi kesal. Namun, bahkan ada yang membuat kita sebagai pembaca berita maupun sebagai warga Jakarta menjadi lebih kesal lagi, yakni tindakan (atau lebih tepatnya ketiadaan tindakan) dari pemerintah untuk mengatasi masalah yang kadung sudah menjadi besar dan memakan korban ini. Masalahnya, polusi udara di Jakarta bukanlah sesuatu yang tiba-tiba datang kemarin sore. Tanda-tandanya sudah terlihat dari jauh, sejak sebelum era covid-19, dan kembali lagi secara dramatis setelah pembatasan-pembatasan dicabut seiring berakhirnya pandemi. Dampaknya ya itu tadi, langit Jakarta yang sempat membiru di era PSBB menjadi kelabu belakangan ini -- dan entah sampai kapan.

Parahnya, pemerintah baik itu Pemprov DKI Jakarta maupun pemerintah pusat seperti kompak gagap menyikapi masalah polusi di ibu kota. Tidak ada solusi segera yang terdengar benar-benar masuk akal untuk mengatasi kedaruratan ini. Kebijakan WFH atau work from home yang diterapkan oleh Pemprov DKI lebih seperti kebijakan panik yang juga tidak akan banyak mengubah situasi mengingat hanya diterapkan kepada lingkaran ASN DKI yang tentu saja jumlahnya tidak seberapa dibanding komuter sehari-hari di Jakarta. Begitupun usulan pemberlakuan 4-in-1 dari Polda Metro Jaya yang diyakini tidak akan memberi banyak solusi bagi kedua masalah baik itu kepada masyarakat yang perlu bepergian maupun untuk mengurangi polusi itu sendiri.

Sejatinya, bagi pemerintah untuk mencari solusi terhadap masalah polusi ketika ia sudah menjadi besar sebenarnya juga sudah sangat terlambat. Sejak dahulu, pemerintah memiliki peluang untuk membatasi kendaraan bermotor yang berlalu-lalang secara berkala, namun mereka seperti ogah-ogahan untuk mengambil sikap tersebut. Yang ada, pemerintah malah aktif mendorong industri dan pameran otomotif dengan berbagai kemudahan -- yang ujung-ujungnya membuat lebih banyak kendaraan bermotor baru mengaspal di jalan raya.

Kita juga menyaksikan bagaimana maju-mundurnya kebijakan untuk membatasi kendaraan bermotor menggambarkan ketidakseriusan pemerintah sejak awal untuk mengatasi masalah polusi di Jakarta. Uji emisi diwajibkan bagi kendaraan bermotor, namun tidak jadi. BBM subsidi berjenis Pertalite hendak dibatasi, namun lagi-lagi tidak jadi. Pun pengadaan transportasi massal termutakhir seperti LRT, MRT, dan kereta cepat lebih berfungsi sebagai media publikasi terhadap pencapaian pemerintah alih-alih sarana yang memiliki fungsi praktis dan dapat menyelesaikan masalah. Pasalnya, pengadaan sarana tersebut tidak dibarengi dengan studi dan kebijakan pendukung yang dapat membuat masyarakat ramai-ramai beralih dari kendaraan pribadi kepada transportasi massal. Lalu, bagaimana kebijakan pemerintah terhadap emisi dari pembangkit listrik dan industri? Lebih baik tidak perlu ditanya!

Tolak ukur efektif atau tidaknya suatu pemerintahan lebih bisa dilihat dari bagaimana kemampuannya untuk menyelesaikan dan menyikapi suatu permasalahan alih-alih membangun barang-barang baru. Tanpa bermaksud mengecilkan, membangun lebih sederhana karena bisa mengandalkan dari sumber-sumber yang mudah didapat seperti hutang atau pinjaman berkedok kerja sama. Namun, mengendalikan dan mengantisipasi masalah adalah bentuk kinerja yang benar-benar dapat menggambarkan kualitas suatu pemerintahan.

Sejauh ini bisa dibilang pemerintah gagal total mengantisipasi dan menyikapi masalah darurat polusi yang sudah telanjur membesar. Menarik ke belakang, kejadian ini sedikit banyak mengingatkan kita pada buruknya antisipasi pemerintah di awal pandemi di Indonesia, yang cenderung bersikap menyangkal dan tidak segera menutup penerbangan dari luar negeri -- sehingga berimbas pada masuknya covid-19 ke Indonesia dalam jumlah besar. Gagapnya pemerintah mengatasi isu-isu mendesak seolah sudah berkembang menjadi pola yang berulang. Yang pasti, warga Jakarta menunggu solusi ASAP terhadap asap yang kian hari kian jadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun