Mohon tunggu...
Rustam E. Simamora
Rustam E. Simamora Mohon Tunggu... lainnya -

~=*=~

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Belajar dari Anak-anak Belajar

16 September 2012   01:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:24 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” – Sang Guru Agung

Belajar adalah aktivitas mental dari yang tidak tahu menjadi tahu. Dari tahu menjadi lebih tahu. Tanpa belajar, segala sesuatunya akan selalu dimulai dari nol. Tak ada kemajuan. Pengetahuan jalan di tempat. Bahkan semuanya serba hampa. Orang yang belajar dengan sangat adalah ia yang telah sadar demikian bodohnya dirinya sendiri. Dan semakin banyak dia belajar, semakin merasa bodoh pulalah ia. Tentulah tidak dengan sembarangan Socrates tua dari Athena menyimpulkan bahwa ia memang lebih bijaksana dari orang-orang lain. Karena, meskipun tidak tahu apa-apa, ia tahu bahwa ia tidak tahu apa-apa.

Anak-anak yang akan saya bicarakan di sini adalah anak-anak dalam arti harfiah. Anak yang belum pada pertumbuhan remaja. Bahkan akan saya batasi dalam kuadran yang lebih kecil. Anak yang belum masuk sekolah. Saya berasumsi, kebanyakan anak-anak Sekolah Dasar (SD) telah ‘dipaksa’ menjadi orang dewasa sebelum saatnya. Masa kecil mereka telah direnggut yang namanya pendidikan formal. Sesuatu yang istimewa – belajar tanpa pamrih, belajar dengan sukacita, belajar tanpa kenal lelah – semakin pudar ketika mereka duduk di bangku sekolah. Hasrat belajar meraka mungkin semakin padam oleh guru mereka sendiri.

Mereka Seniman Sejati

Anak-anak rela bernyanyi untuk bernyanyi itu sendiri. Tidak perduli apakah akan mendapat hadiah atau tidak. Yang penting, dengan bernyanyi, jiwa merasa dibesarkan. Mereka tidak begitu memikirkan apa yang menjadi liriknya. Mereka hanya bernyanyi dengan ceria sesuai dengan luapan emosi mereka. Terkadang mau juga bersenandung lirih ketika kesepian menghadang jiwanya yang peka. Namun, tanpa turut tertekan oleh kesenyapan itu sendiri.

Mereka senang menggores tanah dengan menggunakan ranting kering. Mereka memiliki potensi luar biasa untuk menjadi penoreh sejarah. Plesteran beton yang masih basah menjadi sasaran empuk mereka. Mereka menggambar sebisanya, semurni jiwanya. Mereka senang dengan yang namanya cerita, apalagi cerita epik. Mereka suka bertutur dengan kepahlawanan, harmoni, dan keindahan.

Cara jalan mereka mirip tarian ceria. Kelenturan dan semangat. Mereka berkecenderungan melihat alam sebagai sesuatu yang menyenangkan. Mereka menyatu di dalamnya.

Belajar tanpa Pamrih

Brandon belajar tanpa pamrih untuk bisa naik sepeda. Tak ada kata putus asa dalam kamusnya. Sekalipun tak ada iming-iming hadiah jika ada kemajuan dalam belajar mengendarai sepeda, anak ini belajar dengan semangat. Motif-nya hanya ingin bisa ber-sepeda saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Sesekali dia jatuh. Lututnya lecet. Bangkit kembali. Yang timbul dibenaknya adalah segera akan bisa bersepeda. Ia abai akan lukanya.

Anak-anak melalukan segala sesuatunya dengan tulus-ikhlas dan berbahagia. Mereka begitu menikmati kebebasan. Lahirlah kreativitas.

Mereka Berfilsafat

Mereka memiliki hasrat ingin tahu yang jauh lebih besar daripada para filsuf. Mereka memiliki hasrat belajar yang nyaris tak kuasa terpuaskan. Mereka berfilsafat dengan tulus. Demikian rendah hati dan berterus terang mengatasi para filsuf. Tak ada prasangka. Pertanyaan mereka demikian subversif. Tak putus-putus mereka bertanya mengapa. Orang tua zaman dulu harus bersusah payah mencipta mitos demi memuaskan hasrat ingin tahu mereka. Para orang tua itu bahkan telah berbohong dan berspekulasi yang aneh dan menggelikan untuk menjawab tanya mereka. Gempa timbul karena naga dalam perut bumi yang sedang berontak. Di bulan tinggal para bidadari untuk menjawab tanya anak-anak tentang kehidupan di bulan. Terkadang para orang tua memberikan reason asal-asalan atas ketajaman reasoning mereka. Dan yang menjadi ironi, orang tua dan guru kadang menbendung ingin tahu mereka dengan cara tak elok.

Kisah tua “baju baru Sang Raja” bertutur tentang hasrat ingin tahu mereka yang menggugat. Raja si sombong begitu mendambakan pakaian yang indah. Bajingan cerdas menawarkan suatu pakaian yang demikian halusnya, sehingga tidak dapat dilihat dan tidak dapat dirasa kulit. Rajabodoh amat gembira. Para pembantu hanya bisa berpura kagum akan selera aneh raja. Para pengawal dan pejabat berpura memuji. Skenario sandiwara dimulai. Raja dengan angkuh menunjukkan baju barunya kepada rakyat. Rakyat mengelu dan menyanjung palsu baju baru Sang Raja. Kemudian, seorang anak bertanya dengan polosnya. “Kenapa sang Raja tidak memakai baju?” Ketelanjangan Raja dipertanyakan. Ketelanjangan Raja digugat oleh jiwa yang sederhana seorang anak.

Dibalik kepolosan tanya, kebenaran dipertanyakan. Begitulah. Kejujuran juga demikian sederhana. Tapi kerap melukai. Kebajikan dirindu. Kebajikan dibenci. Kebenaran disanjung ketika mencerahkan. Kebenaran disanggah ketika menuduh. Tiap hari kerikil ‘kebenaran kecil’ membuat tersandung.

Sekolah memperbodoh

Anak cerdas adanya. Semua anak dilahirkan cerdas. Namun, iming-iming nilai yang menjijikkan oleh guru memperbodoh para siswa. Kreativitas mereka dikekang oleh yang namanya kurikulum dan guru. Matilah hasrat belajar. Tumpullah wawasannya.

Tak ada lagi cerita tentang pohon yang bercerita. Singa yang ramah. Berang-berang pemberani. Tak adalagi cerita epic yang kena di hati. Reduplah imajinasi-fantasi mereka.

“Tidakkah Bu guru akan mengajak kami ke ladang?” Ketika belajar IPA, khayal mereka berpaling ke kebun belakang rumah. Di sana ada markisa dan terong belanda. Aroma bunga kopi yang bermekaran sangat sedap. Matematika itu tidak asyik. Tidak menantang dan tidak perlu. Berburu tawon jauh lebih menantang. Menangkap belalang jauh lebih mengasyikkan.Mengumpulkan bunga-bungan jauh lebih menyenangkan daripada belajar bahasa Indonesia.

Tiap hari, di kelas itu, di batasi dinding dan duduk manis, diam di belakang meja, yang ada bosan, bingung dan takut. Dengan terlalu dini, mereka dijejali dengan berbagai kata yang tidak otentik dan tidak realistis atas perkembangan intelektual mereka. Terlalu banyak pelajaran yang tidak mengajar anak. Asing dan mengasingkan. Mereka seolah dipisahkan dengan dunia mereka. Teralienasi dengan pengalaman mereka. Sehingga kebanyakan mereka berpura-pura bodoh. Takut orang dewasa meminta lebih atas mereka. Dan pada akhirnya, banyak dari mereka menjadi betul-betul bodoh.

Psikologi populer, Peterpan Syndrom

Tentulah bukan maksudku supaya kita menjadi kekanak-kanakan. Walaupun memang dalam artian tertentu kita harus belajar kembali menjadi seorang anak kecil. Bukan sedang mengajak supaya orang dewasa mengidap peterpan syndrome dengan naif-nya. Ada berbagai hal pada diri anak-anak yang bahkan lebih bajik pada dewasa. Namun, sekolah membuat mereka menjadi miniature orang dewasa. Akhirnya, kelebihan anak-anak mengalami distorsi karena mereka dipaksa berlaku menjadi orang dewasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun