Malam temaram, suasana keraton Astina cukup sunyi. Kadang-kadang saja terdengar candaan prajurit di sela tiupan angin lembut di sekitar istana.
Di ruang peraduan dua anak manusia yang berlainan jenis belum hendak mengenakan pakaiannya. Kegelisahan masih menyelimuti batin keduanya.
Prabu Pandu dan permaisurinya, itulah mereka. Jangankan kemesraan, untuk bertatap muka saja lelaki itu tak sudi. Yang ada hanya kegalauan, kemarahan.
"Dasar wanita jalang, pergi dariku Kunti... pergi, pergiiii ..!" Tiba-tiba saja raja muda itu berteriak sambil meloncat keluar dari bilik peraduan.
Seorang lelaki tergopoh-gopoh mendatangi Pandu yang masih berlari-lari tak tentu arah: "Oh, apa yang harus aku lakukan untukmu kangkang Prabu?"
"Ayo Suman, dampingi aku ke tepian gangga, aku ingin mandi besar di malam hari ini," sedikit gugup Hario Suman menyambut tubuh Pandu yang masih geloyoran
"Oh, malam-malam begini? Apa yang sudah terjadi Kakang Pandu?" Adik Dewi Gendari itu berlagak cemas, meski hatinya menggambarkan ia tahu segalanya. "Baiklah Kakang, kasinggihan."
Sementara itu di istana timur seorang wanita nampak terkekeh-kekeh menikmati kemenangannya. Teringat kisah Prabu Santanu ratusan tahun silam, yang delapan kali menangis pula di tepian Gangga
"Dewi Gangga, kali ini akulah yang punya persembahan untukmu. Terimalah Dewi, tolong kerdilkan jiwa lelaki jahanam itu. Padamkan semangat hidupnya, penjarakan batinnya."
"Bukankah anakmu Dewa Brata masih menderita karena ulah leluhur dia. Aku yakin Dewi Gangga mau membantuku. Rampaslah semua keperkasaannya hua hahaha...!
"Ha....ha.....ha.....Ouuwww..!" Singa betina itu meraung-raung sambil mengangkat kaki depannya. Dan tiba-tiba langitpun menjadi gelap gulita. Mendung hitam bertubi-tubi datang menggumpal.