Mohon tunggu...
Rusman
Rusman Mohon Tunggu... Guru - Libang Pepadi Kab. Tuban - Pemerhati budaya - Praktisi SambangPramitra
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Hidupmu terasa LEBIH INDAH jika kau hiasi dengan BUAH KARYA untuk sesama". Penulis juga aktif sebagai litbang Pepadi Kab. Tuban dan aktivis SambangPramitra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wayang, TRAGEDI BALAI SIGOLO-GOLO

11 September 2018   07:16 Diperbarui: 27 Maret 2019   01:28 897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Tempat itu adalah lapangan termegah yang ada di negeri Astinapura.

Alun-alun baru yang amat luas yang sengaja dibangun untuk melengkapi alun-alun lama yang  berada di dekat istana. 

Dulu orang menyebut lokasi alun-alun baru yang luas ini sebagai padang SiGolo-Golo.

Inilah tempat penyelenggaraan berbagai acara penting yang sengaja dibangun oleh mendiang Prabu Pandhu Dewanata, ayahanda para Pandhawa. 

Tujuan utamanya adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada para kawula alit.

Memang sejak dipimpin oleh Prabu Pandhu kehidupan rakyat kecil semakin semarak, mereka sangat berterimakasih karena sang raja sering mengadakan acara hiburan di alun-alun kedua ini.

"Alun-alun ini adalah milik kalian semua," begitu titah baginda saat meresmikan lapangan yang amat luas ini.

"Jangan segan-segan untuk datang ke sini, karena sepekan sekali di tempat ini akan ada hiburan untuk kalian semua."

Kontan para kawula Astina menyambut kemurahan hati sang raja ini dengan suka cita.

Rakyat semakin mengelu-elukan nama junjungannya sebagai seorang raja yang amat bijaksana. 

Sepekan sekali mereka datang berduyun-duyun menikmati keramaian, ada banyak tontonan seperti wayang, ludruk, ketoprak, dan bahkan tayub. 

Orang-orang bebas memilih mana yang mereka sukai.

Namun dengan gugurnya Prabu Pandhu  Dewanata saat perang tanding melawan raja bawahannya, yaitu Prabu Trembaka dari Pringgondani, sejak itu alun-alun SiGolo-Golo ini menjadi sepi kembali.

Acara hiburan yang dulu sering diselenggarakan sang raja kini lenyap bagai ditelan bumi.

Nampaknya pemimpin baru yang menggantikan Prabu Pandhu tidak lagi menganggap acara itu sebagai hal yang penting.

Dia adalah Sang Adipati Drestarasta, yaitu saudara tertua dari mendiang raja yang kebetulan cacat netra.

Sebagaimana telah disetujui oleh Dewan Kerajaan yang dipimpin Eyang Bisma bahwa pewaris syah negeri Astina adalah para Pandhawa. 

Namun karena mereka belum cukup umur maka sambil menunggu dewasanya Raden Puntadewa, Begawan Bisma menunjuk Adipati Destarasta menjadi pelaksana sementara jabatan raja. 

Sekarang di bawah raja baru ini alun-alun kecintaan rakyat Astina ini bagaikan ladang sunyi yang menakutkan. 

Tentu saja para kawula menjadi semakin rindu dengan kepemimpinan Prabu Pandhu. Sering mereka berkerumun di lapangan ini sekedar mengenang masa-masa indah sambil menangis dan mendo'akan mendiang raja kecintaan mereka.

Sebenarnya sang Drestarasta juga tipe pemimpin yang baik pula.

Hal ini terbukti bahwa adipati ini diam-diam sering mengutus orang-orang kepercayaannya untuk "nlamur lampah" membaur dengan rakyat untuk menyerap aspirasi mereka. Dan hasilnya?

Ternyata rakyat banyak menghendaki agar putra Pandhu secepatnya menggantikannya sebagai raja Astinapura.

Mereka menginginkan agar anak-anak Pandu itu segera melanjutkan pemerintahan dan Raden Puntadewa dinobatkan sebagai raja. 

Lagi pula para luhur kerajaan, seperti eyang Bisma telah menyetujuinya pula. Maka hal itu sudah cukup menjadi alasan bagi sang Adipati untuk segera melaksanakan kehendak para kawula.

Maka Adipati Drestarasta sebagai pelaksana kekuasaan sementara segera memerintahkan Patih Sengkuni untuk membuat upacara pergantian pemerintahan sekaligus merayakannya di alun-alun SiGolo-Golo.

"Lakukan itu sebaik mungkin Sengkuni," perintah sang Drestarasta, "Aku tidak ingin ada cela sedikitpun dalam acara itu. Dan itu menjadi tanggungjawabmu sepenuhnya."

"Sendika dawuh kakanda adipati." Jawab Sengkuni sambil minta diri kepada kakak iparnya itu.

Tapi Duryudana muda, putra Adipati Drestarasta merasa enggan mengakui kekuasaan Pandawa.

"Duh paman, lantas bagaimana dengan nasib saya dan adik-adikku para Kurawa?"

"Sabarlah anakku, aku sebagai pamanmu tentu akan banyak berbuat demi kepentingan kalian, "Jawab orang tua itu, "Kau kira pamanmu ini rela menyaksikan itu semua?"

Demikianlah, putra sulung sang Drestarasta itupun bersepakat dengan pamannya untuk menyusun siasat jahat guna menggagalkan dan merebut tahta para Pandawa.

Satu-satunya cara yang mereka gunakan adalah bahwa Bima dan saudara–saudaranya itu harus dilenyapkan.

"Serahkan semua itu pada pamanmu ini, Ngger!" sekali lagi orang tua itu meyakinkan.

Begitulah si julik Sengkuni segera membentuk tim sukses untuk mengegolkan maksudnya. 

Salah satu tim yang ia bentuk khusus beranggotakan para pemuda yang ahli meracik bahan peledak.

Tim lain yang juga merupakan tim khusus bertugas untuk mendesain tempat pesta yang megah dan terkesan mewah tetapi terbuat dari bahan–bahan yang mudah terbakar.  

"Kalian harus melakukannya sebaik mungkin. Nyawa kalian menjadi taruhannya," gaya bicaranya mengintimidasi, "tapi tentu saja jika berhasil, hadiah yang luar biasa menunggu kalian."

"Ma'af ki Patih, bukankah saat pesta yang direncanakan malam itu banyak kawula alit ikut berdatangan, "sela salah seorang utusan, "korban akan menjadi tak terbilang jumlahnya?"

"Bodoh sekali kau anak muda, "bentak patih Sengkuni, "api akan kita buat di tengah malam saat keadaan sepi. Dan anak-anak Pandhu itu sudah pulas mendengkur karena meminum racikan khusus yang disiapkan oleh orang-orang kita, hehe..."

"Ha..ha..ha.." Dursasana yang senang ugal-ugalan itupun ikut tertawa.

"Hus..! Jangan keras-keras ketawamu bocah sontoloyo."tegur ki patih, "ingat Dur ini hal yang amat RHS."

"Huh, gayamu man.. pakai RHS segala.. hahaha..!"

Sedang Duryudana yang juga ada di tempat itu mengangguk-anggukkan kepala dan memuji rencana licik pamannya itu.

"Kalian tinggal melaksanakan. Ikuti saja rencana pamanku." Kata pemuda itu sambil melototkan matanya.

"Beb..baik raden..!" Sahut anak-anak muda itu setengah ketakutan.
Demikianlah, sesuai dengan yang direncanakan pada saat malam penobatan itu terjadilah semuanya. Di tengah  hingar bingar dan kesenangan berpesta pora, setelah Dewan Kerajaan kembali ke rumah masing-masing para pandhawa dijamu dengan masakan mewah.

Tentu saja minuman yang diracik khusus itupun tak ketinggalan.
Agaknya kemeriahan itu menghilangkan pula kewaspadaan Dewi Kunti dan putra-putranya.

Sama sekali tidak mengira bahwa keramahtamahan dan senyuman manis para Kurawa itu hanyalah kamuflase saja. Sikap santun dan rasa hormat Dursasana maupun adik-adiknya itu hanyalah palsu belaka.

Maka setelah malam menjadi sepi, pesta pora telah usai dan para anak Pandhu tertidur pulas, terjadilah ledakan itu. 

"Daaar ..!" Dan sesaat setelah itu apipun tak terelakkan juga.

Kebakaran hebatpun melanda bangunan atau balai yang sekilas nampak megah itu. Para Kurawapun serentak menjauh. 

Seperti telah dikomando oleh Sengkuni, maka Duryudana dan adik-adiknya berpura-pura mabuk dan tidur pulas jauh di tepi alun-alun SiGolo-Golo.

"Semua tidur pulas di sini, bawa minuman kalian dan berlagaklah mabuk. Jangan ada yang mendekati kobaran api!" Begitu Duryudana sang sulung itu mengaba-aba.

Tapi ternyata benar kata banyak orang bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Apa hendak dikata, manusia hanya mampu berencana sedang keberhasilan tetap milik Sang Pencipta. 

Begitulah, kepura-puraan para Kurawa itu justru telah menghasilkan keberkahan bagi para Pendhawa.
Di tengah hiruk pikuk kobaran api yang melanda, mereka yang berpura-pura tidur di tempat agak jauh tidak melihat ada lima orang lelaki dan satu perempuan jelata telah merelakan diri terjun ke tengah prahara. Keenam orang itu segera menggotong tubuh-tubuh Dewi Kunthi dan anak-anaknya.

"Tak banyak yang bisa kami ceritakan raden," kata para jelata itu setelah para priyagung itu sadar, "tapi semua sudah diatur, ikutilah kemana hewan itu pergi. Ia akan menelusuri lorong yang dapat membuat raden sekalian selamat."

"Lalu mengapa kalian tidak ikut bersama kami, saudaraku?" Tanya Dewi Kunthi.

"Ma'af sang Dewi, kami masih harus menjalankan tugas lainnya."

"Kalo begitu, kami tunggu kehadiran kalian untuk menyusul kami, "lanjut sang Dewi, "Terimakasih atas kemuliaan hati kalian."

"Sebagaimana keikhlasan Sang Dewi saat menolong kami dulu, "sahut yang perempuan "Selamat jalan para ksatriya luhur. Tuhan pasti menolongmu."

Demikianlah para Pandawa dan ibundanya itu melangkah mengikuti seekor binatang diiringi aliran air mata para jelata yang menolongnya.
Ternyata kelima lelaki dan wanita jelata itu rela menggantikan posisi tidur para junjungan mereka.

Hari telah menjadi pagi. Sang surya selalu setia menjalankan tugasnya menyembulkan sinanya dari ufuk timur. Dan dengan bermandikan sinar mentari para Kurawa tidak sabar lagi untuk menunggu hasil pekerjaan mereka. Duryudana dan adik-adiknya sekilas mengembangkan senyum di bibir mereka, saat anak-anak Drestarasta itu menemukan lima sosok mayat pria dan satu wanita. 

Merekapun menyimpulkan bahwa mayat–mayat itu adalah lima orang Pandawa, termasuk calon raja Sang Puntadewa dan Ibunda mereka yaitu Dewi Kunti.

Tergopoh-gopoh patih Sengkuni berlarian menuju istana raja. 

"Aku harus melaporkan semua kejadian ini. Jangan ada yang menyentuh sedikitpun!" Teriaknya sambil berlari.

Gegerlah semua petinggi kerajaan. Dengan gugupnya Adipati Drestarasta berteriak-terak memanggil istrinya.

"Gendari-gendari, apa benar laporan si Sengkuni adikmu ini, he !?"

"Ma'af Kanda Adipati, hamba melaporkan yang sesungguhnya." Jawab sengkuni.

"Hus, aku tidak tanya kamu. Ayo Gendari tuntunlah aku ke SiGolo-Golo. Aku ingin meyakinkan sendiri keadaan yang sesungguhnya."

Ternyata Dewan Kerajaan sudah lebih dahulu ada di sana. Begawan Bisma melihat enam mayat yang sudah tidak bisa dikenali lagi. Suasana begitu kacaunya, raungan tangisan para kawula alit ditambah suara kenthongan tanda berduka saling bersautan mrnambah ngeri keadaan.
Dua bulan setelah kejadian mengenaskan itu akhirnya Duryudana mengklaim diri sebagai pewaris syah kerajaan Astina, dan atas desakan sang patih dengan alasan yang berbagai macam naka Dewan Kerajaan melantik Duryudana sebagai raja menggantikan Puntadewa.

Namun enam bulan berikutnya, rakyat dan para sesepuh Astina menerima kenyataan yang tak tetduga. Ternyata para ksatriya Pandawa beserta ibunya itu selamat dari kobaran api, berkat campur tangan Yang Maha Kuasa.

Melalui  peran sang penolong yaitu Bathara Ananta Boga yaitu dengan cara membangun terowongan menuju perut bumi, maka gagalah konspirasi jahat para Kurawa.

Ternyata lima mayat yang telah hangus karena termakan api itu tak lain adalah keenam rakyat jelata yang tadi membantu mereka.

Kebaikan hati sang ibu menolong kaum jelata telah berbuah keselamatan bagi anak-anaknya serta masa depan mereka juga.

Rakyat jelata itu telah mati dengan senyuman di bibir mereka, secara ikhlas menerimanya demi kebaikan hidup para junjungannya.

Kenyataan yang seperti tak masuk akal itu dianggap sebagai anugrah oleh rakyat Astina. 

Mereka menangis bercampur gembira, bahagia dan amat tetharu atas kembalinya ksatria kebanggaan mereka itu.

Setelah melalui berbagai musyawarah maka Dewan Kerajaan mengambil kebijakan, bahwa para Putra Pandhu itu mendapatkan suatu wilayah yang berupa hutan Wanamarta.

Dari hasil babat hutan inilah Puntadewa dan adik-adiknya membangun sebuah kerajaan yang kelak terkenal dengan nama Amarta atau Ngamarto.

Kerajaan inipun akhirnya  juga menjadi sasaran tembak kelicikan patih Sengkuni, yaitu melalui tipu muslihat perjudian yang disebut sebagai Sesukan Dadu.

Itulah sekilas tentang cerita "Balai SiGolo-Golo. 

Tragedi yang mengerikan itu tak pelak menjadi awal dari rangkaian perlombaan politik yang semakin hari semakin rumit di antara kedua saudara, yaitu Kurawa dan Pandawa. 

Dan pada puncaknya melahirkan perang besar yang disebut Barata Yudha.***


Keterangan:

Penulis adalah pemerhati budaya dan praktisi pendidikan di Tuban.

Nikmati bacaan selanjutnya:

https://www.kompasiana.com/rusrusman522/5c95e3a695760e2a671f4893/wayang-raden-yuyutsu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun