Mohon tunggu...
Rusli Akhmad Junaedi
Rusli Akhmad Junaedi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Ilmu Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Sedang mendalami etika lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kandasnya Cintaku

19 Juni 2014   12:40 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:09 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14031311611697126487

Sidoarjo, 13 April 2013
Pada suatu malam, aku dan Isti duduk bersama di sebuah kedai lesehan. Kedai tempat kami duduk berada di dekat GOR Sidoarjo. Suasana cukup ramai, banyak pasangan muda-mudi memadu kasih di sini. Sementara itu, aku dan Isti tampak saling menjaga jarak. Kami sadar kalau bukan mahram dan tak sepantasnya berada di sini. Namun bagaimana lagi, ini satu-satunya kesempatan sebelum ujian nasional digelar. Walau kami sama-sama mempunyai ponsel, akan tetapi aku ingin mendengar jawaban langsung dari mulut Isti, maka dari itu aku mengajak Isti kemari.
Malam ini sungguh menengangkan. Keputusan dari pernyataan cintaku pada Isti ditentukan, apakah cintaku bertepuk sebelah tangan atau tidak. Aku merasa sedikit tegang. Badankupanas-dingin. Entah mengapa keadaanku begitu, mungkin aku sudah tak sabar menanti sebuah jawaban dari Isti.
“Jadi, gimana keputusannya?” tanyaku penasaran.
“Sebenarnya aku gak mau bikin kamu kecewa. Tapi, maaf banget, aku gak mau. Gimana kalau kita sahabatan aja?” tutur Isti.
“Ya sudah kalau gitu, makasih.”
Aku pergi meninggalkan Isti penuh rasa kecewa. Dadaku sesak. Aku terisak, tak terasa air mataku perlahan jatuh ke tanah. Aku berusaha menyeka air mata ini. Aku tak mau tampak cengeng dihadapan Isti. “Masak cowok kok nangisan,” gumamku.
“Akmal, tunggu!” cegah Isti.
Aku berbalik dan menoleh ke arah Isti.
“Ada apa lagi? Bukankah semuanya udah jelas?”
“Jangan kecewa, Mal. Nanti aku yang dosa membuatmu sakit hati.”
“Terus aku harus gimana?”
“Kamu itu gak bisa sedikit saja berpikir dewasa?”
“Aku udah coba bersikap dewasa dengan mencoba menerima segala keputusanmu.”
“Kelihatannya kamu gak ikhlas banget. Damaikan hatimu, berpikirlah positif, ambil tindakan. Jujur, aku lebih suka jadi sahabatmu. Jika Allah mengizinkan, jodoh gak kemana kok.”
Tanpa banyak bicara, aku meninggalkan Isti. Aku pergi dengan perasaan kecewa yang amat mendalam. Untuk kesekian kalinya cintaku bertepuk sebelah tangan. Inilah hidup, tak sebuah apa yang kita impikan bisa kita capai.
*
Tiga bulan berlalu, tak disangka aku bertemu dengannya, Isti. Aku masih tak percaya kalau ternyata Isti satu kampus denganku. Dunia ini begitu sempit hingga mempertemukan kami lagi.
Tanpa sadar air mata menetes membasahi pipiku. Cepat-cepat kuhapus air mataku. Kulihat Isti berjalan ke arahku. Aku menundukan kepala. Isti melihatku. Ia menghampiriku.
“Akmal, gak nyangka kalau kita satu kampus.”
“Iya, ada apa kau menemuiku?”
“Kenapa kau cenderung menghindar dariku semenjak kejadian tiga bulan yang lalu? Apa engkau selama ini lari dari masalah?”
Aku diam seribu bahasa.
“Hai Akmal, kalau gini caranya kau tak pantas disebut lelaki. Lelaki macam apa kau? Laki-laki tak pernah lari dari masalah. Dasar pecundang!”
Amarahku memuncak. Wajahku merah padam. Kukepalkan tanganku erat-erat.
“Iya, aku emang pecundang! Terus kenapa? Aku tak mau hatiku terluka tuk kesekian kalinya. Sudah terlampau sering cintaku bertepuk sebelah tangan.”
Isti lantas memegang tanganku. Kutepis tangan Isti dengan lembut.
“Aku tahu, aku salah. Aku memang bukan sosok wanita yang baik bagimu. Aku kemari hanya untuk mengucapkan terima kasih.”
“Terima kasih atas apa? Atas segala penderitaan yang kau berikan padaku?”
“Bukan untuk itu. Justru sebaliknya, aku berterima kasih atas semua pelajaran hidup yang kau berikan padaku.”
“Maaf, aku ini bukan seorang kyai atau usztad, aku manusia biasa yang banyak dosa dan salahnya. Sudahlah, lebih baik kau pergi!”
“Ok, aku akan pergi. Akan tetapi, sebelum aku pergi, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu. Asal kau tahu kala itu, tiga bulan yang lalu, saat itu kita sama-sama kelas tiga SMA, sama-sama bersiap menghadapi ujian nasional, jadi aku gak ada niatan buat pacaran. Dan juga, aku udah nazar, gak pacaran selama SMA.”
Aku tertunduk.
“Sudah, lebih baik kau pergi darisini atau aku yang akan pergi?”
“Ok, aku pergi. Tapi ingatlah satu hal, wanita itu sulit mencinta dan sulit melupakan, engkau adalah bagian dari cintaku dan aku juga sulit melupakanmu. Semoga takdir mempersatukan kita kelak.”
“Cepat pergi!”
“Ok, aku pergi. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Isti perlahan mulai hilang dari pandangan mataku. Bayangnya lenyap dimakan waktu. Aku menghela napas sejenak dan bergegas pulang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun