Mohon tunggu...
Rusdi Mathari
Rusdi Mathari Mohon Tunggu... -

Seperti halnya kebenaran, ketidakbenaran juga bukan monopoli siapa pun.\r\n\r\nRusdi Mathari, \r\nwartawan tinggal di Jakarta,\r\nEMAIL: rusdi_man@yahoo.com & rusdimathari@gmail.com,\r\nTWITTER: @rusdirusdi\r\nBLOG: http://www.rusdimathari.wordpress.com,\r\nCELL: 62+8128480754

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jalan Tol, untuk Siapa?

26 Januari 2010   02:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:16 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_61172" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi-Pelebaran jalan Tol/admin (KOMPAS)"][/caption] Lalu hari ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan ruas jalan tol Kanci-Pejagan, di Cirebon, Jawa Barat sepanjang 35 kilometer. Saya tak paham, ketika negara-negara maju sudah menghentikan pembangunan jalan tol karena antara lain, terbukti tidak bisa mengurangi kemacetan dan sebagai gantinya banyak membangun fasilitas jalur untuk kereta api— mengapa di sini pembangunan jalan tol terus dipacu dan sebaliknya pembangunan jaringan rel yang jauh lebih murah terus dihambat atau ditunda-tunda? oleh Rusdi Mathari RADIATOR Springs adalah kota di atas bukit. Terletak di antara dua kota dan jalan satu-satunya yang menghubungkan dua kota itu melintasi Radiator Springs, kota di atas bukit itu pada zamannya adalah tempat singgah banyak orang dan kendaraan. Jalannya berbelok-belok, menanjak dan menurun, melewati jembatan panjang yang indah, memasuki terowongan dan sebagainya. Melewati jalan negara itu, semua kendaraan bergerak dinamis, tidak monoton. Perekonomian warga Radiator Springs juga berkembang. Hotel, restoran, dan toko-toko lainnya tidak pernah sepi dari pengunjung dan para tamu. Empat puluh tahun silam berlalu dan kini semua berubah.  Sejak sebuah jalan tol panjang dan lurus—yang memperpendek jarak— dibangun untuk menghubungkan dua kota lain itu dan hanya “melewati” Radiator Springs, kota di atas bukit itu perlahan menjadi kota mati.  Hotel, restoran, toko onderdil, bengkel dan sebagainya, banyak yang tutup. Sebagian hotel  lalu seperti menjadi rumah hantu karena tak ada yang mengelola, dan tak ada tamu yang menginap. Jalan yang berbelok-belok, memutar, menanjak dan menurun ke Radiator Springs rupanya sudah tak menarik orang luar untuk singgah di kota itu. Mereka lebih memilih jalan tol untuk mempersingkat waktu dan jarak, meskipun mereka juga tak tahu dengan apa yang mereka lihat. “Mereka hanya mengemudi dan tidak menikmati perjalanan,” begitulah seorang mantan jaksa menjelaskan kepada Lightning McQueen, ketika keduanya melihat ratusan kendaraan melaju kencang di ruas tol yang bisa terlihat dari kota Radiator Springs.  McQueen adalah “tamu” yang tersesat ke kota itu. Di manakah Radiator Springs? Kota itu hanya ada di Cars, film animasi produksi Disney dan Pixar, yang menyindir tentang bahaya globalisasi dan kesombongan pembangunan ekonomi. Film itu diputar di bioskop-bioskop di Jakarta, tiga atau empat tahun lalu dan pekan silam diputar kembali oleh sebuah stasiun televisi. Karena dibangun sedemikian rupa, jalan tol itu memang telah memungkinkan arus kendaraan bergerak lebih cepat dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kota ke kota lainnya. Jarak menjadi semakin ringkas meskipun yang sebetulnya terjadi, manusia dipaksa hanya menjadi pengemudi.  Seolah robot. Itu berbeda jika melintas di jalan bukan tol  yang berbelok=belok dan memutar atau naik-turun yang memungkinkan orang bergerak dinamis dengan kendaraannya. Akas dan Tjipto Dulu ketika belum ada tol Gempol-Surabaya, setiap kali hendak Surabaya dari Situbondo, bus Akas atau Tjipto yang saya tumpangi selalu melewati Sidoarjo, kota kecil di selatan Surabaya. Begitu masuk Gempol, akan banyak pedagang asongan yang menjajakan kue klepon atau sate kerang, yang naik ke atas bus. Saya biasanya membeli sate kerang itu tapi pemandangan yang paling saya sukai adalah ketika bus melintas di atas jembatan tua yang di bawahnya melintas sungai Porong. Sungainya lebar dan airnya deras mengalir. Sebelumnya, saya belum pernah melihat sungai selebar itu. Memasuki Sidoarjo, dari dalam bus bisa terlihat gedung-gedung tua bersejarah dan pasar-pasar tradisional. Gempol-Surabaya waktu itu bisa ditempuh dalam waktu satu jam. Tetapi sejak tol Gempol-Surabaya beroperasi, bus dari timur dan selatan Jawa Timur yang hendak ke Surabaya, hampir semuanya memilih melintas di jalan tol. Tak ada lagi pedagang asongan yang bisa masuk, tak juga bisa melihat jembatan tua di Kali Porong. Sepanjang mata memandang, di kiri kanan jalan tol hanya hamparan sawah yang kering atau perumahan-perumahan baru seperti petak-petak hipotek di permainan monopoli. Memandang ke depan dari dalam bus, yang tampak hanya ratusan kendaraan melaju kencang seolah mengejar atau dikejar sesuatu. Perjalanan menjadi ringkas hanya sekitar 20 menit. Manusia dan barang sama cepatnya. Kini ruas tol itu lumpuh, terhalang oleh tanggul yang dibuat pihak Lapindo. Tak ada lagi kendaraan yang melintas di atasnya, setidaknya di ruas Gempol-Sidoarjo. Sebagai gantinya, semua kendaraan kembali melintas di jalan “asal” yaitu jalan raya Porong sehingga hampir setiap hari, jalan raya itu dilanda kemacetan. Jalan raya Porong itu terpaksa dilalui oleh pengendara dan para sopir angkutan karena tak ada jalan alternatif setelah sebelumnya mereka sangat tergantung kepada jalan tol. Ada kabar, ruas pengganti Gempol-Sidoarjo itu akan segera dibangun tapi banyak perusahaan bus di Jawa Timur yang telanjur sekarat karena digerus biaya tinggi akibat tak beroperasinya ruas Gempol-Sidoarjo. Jalan tol Cipularang yang menghubungkan Cikampek-Bandung, juga meninggalkan banyak bekas cerita yang berbeda bagi warga kota Purwakarta, Cipatat dan Ciranjang. Sebelum ada tol Cipularang, sebagian warga Purwakarta dan sekitarnya yang tinggal di tepi jalan negara antara Cikampek-Padalarang, menggantungkan hidup dari berjualan makanan, kerajinan dan sebagainya. Berjejer di sepanjang jalan. Bus-bus, truk-truk dan kendaraan pribadi, biasanya juga berhenti untuk singgah di warung-warung mereka, sekadar melepas lelah atau menikmati tape bakar. Alam dan suasana di jalan itu juga memesona mata: Perkebunan damar, sawah, percikan air dan sebagainya. Jalan tol Cipularang yang memangkas waktu dan jarak Bandung-Jakarta, akan tetapi sudah sekian tahun memangkas penghidupan mereka. Jalan negara itu sekarang sepi, begitu juga warung makanan dan kerajinan penduduk. Sebagian bangkrut, yang lain entah ke mana, telah pindah. Lalu hari ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan ruas jalan tol Kanci-Pejagan, di Cirebon, Jawa Barat sepanjang 35 kilometer. Tol itu dibangun oleh Grup Bakrie dan merupakan bagian dari pembangunan jalan tol yang direncanakan akan menghubungkan Pulau Jawa, hingga kelak mencapai Probolinggo, di Jawa Timur. Saya sungguh tak paham, ketika negara-negara maju sudah menghentikan pembangunan jalan tol karena antara lain, terbukti tidak bisa mengurangi kemacetan dan sebagai gantinya banyak membangun fasilitas jalur untuk kereta api— di sini pembangunan jalan tol terus dipacu dan sebaliknya pembangunan jaringan rel yang jauh lebih murah terus dihambat atau ditunda-tunda. Orang-orang lalu seperti dipaksa melintas di jalan tol di sebelah jalan negara yang berlubang dan sumpek, mengejar dan dikejar waktu. Seperti kata McQueen, mereka kemudian hanya sekadar mengemudi dan tidak tahu apa yang mereka lihat. Tulisan ini juga bisa dibaca di Rusdi GoBlog.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun