Karena tulusnya mendampingi suami, maka tak pernah dia merasa seperti caregiver. Baginya mendampingi, merawat, dan membuatnya nyaman adalah kewajibannya. Ada banyak hal yang menjadi tanggung jawabnya, dari Ibu rumah tangga menjadi Kepala rumah tangga. mulai dari finansial yang harus terpenuhi, menjaga kesehatan diri dan keluarga, hingga mental dan psikologi yang tetap terjaga.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana lelah yang mendera, selama 24 jam dan bahkan seluruh waktunya ia gunakan untuk mendampingi suami. Nasib seseorang tak pernah tahu bagaimana kehidupannya kelak, sekarang sehat, besuk sakit. Atau sebaliknya sekarang sakit esuk sehat dan bugar kembali. Manusia hanyalah wayang yang hanya bisa menjalankan takdirnya.
Adik saya sebut saja Maya( bukan nama sesungguhnya). Sudah dua puluh lima tahun hidup bersama dengan suami dan anak-anaknya. Sejak pernikahan hingga dikaruniai dua orang anak, hidupnya sederhana namun berkecukupan.
Suaminya bekerja sebagai direktur di sebuah lembaga Pendidikan swasta ternama di kota metropolitan. Gaji bulanannya bisa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan biaya sekolah kedua anaknya. Suka duka dia alami bersama keluarganya, kebahagiaan yang selama ini dia nikmati tiba-tiba terenggut oleh kondisi suami yang tiba-tiba kena struk.
Baginya mungkin dunia sedang berputar. Suami yang menjadi satu-satunya sumber penghasilan tiba-tiba harus terampas oleh penyakit yang tak kunjung sembuh. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali ihtiyar dan berobat atas kesembuhan suami.
Sudah tiga tahun dia merawat suami yang terkena struk, dari mulai hanya bisa berbaring, kemudian bisa duduk, dan sekarang bisa berjalan walaupun hanya tertatih, sampai detik ini tidak bisa berbicara, hanya suara vocal A saja yang bisa terucap dari mulutnya.
Sebelumnya hanya seorang Ibu rumah tangga yang bergantung pada gaji suami, setelah kejadian itu dia harus banting tulang, terlebih saat itu anak pertamanya masuk di Perguruan Tinggi sedangkan yang nomor dua duduk di bangku SMA. Tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Perawatan suami, biaya sekolah anak-anak dan kebutuhan yang lain. Bagaimana  dapur harus mengepul setiap hari, bagaimana menyediakan uang saku anak dan masih banyak lagi tanggungan yang lain. Lalu bagaimana rezeki itu datang.
Hidup di Jakarta tentu tidak mudah, dalam keadaan seperti itu istri harus pintar-pintar berihtiyar, kiranya apa yang bisa bertahan hidup di tengah-tengah kehidupan yang sangat berat itu. Dengan berbekal alumni pondok pesantren ahirnya dia buka les prifat, buka tahsin di rumahnya, dan jualan online.
Gayung pun bersambut setelah dibukanya les privat banyak pendaftar yang ingin belajar ngaji. Ada yang datang ke rumah juga ada yang minta hadir di rumah. Selain itu dia juga untuk menjadi guru tahsin di sekolah swasta.
Pagi hari dia ngajar di sekolah, sore harinya dia privat di rumah. Selain itu dia  masih nyambi jualan online. Berusaha semaksimal mungkin yang penting halal.
Pagi-pagi sekali dia harus bangun menyiapkan sarapan, membersihkan rumah, mencuci baju. Selain pekerjaan yang menyita tenaga, dia juga harus pintar-pintar bagi waktu ke sekolah, datang ke terapis, juga control ke rumah sakit. Â
Di sela-sela kepenatan tersebut, hanya pasrah dalam diam, menunduk di keheningan malam mengadukan semua nasibnya kepada yang Maha Agung, kiranya dikuatkan dalam menghadapi cobaan. Terkadang dia menangis karena tidak bisa memahami apa yang diminta suami, merasa lelah namun tak bisa berbuat banyak, selain menerimanya bahwa ini bagian hidup yang harus ia jalani. Â
Saat ada orang bilang, bawa ke orang pintar, bawa ke Kyai, bawa ke dokter, bawa ke terapi dan lain-lain. Apapun informasi yang ia terima selama masih ada biaya semuanya diusahakan demi mendapatkan kesehatannya kembali. Hingga pada akhirnya harus jual mobil, jual rumah miliknya yang ada di kampung dan lain sebagainya.
Hidup di kota tentu nafsi-nafsi, berbeda dengan di kampung yang masih mengenal tetangga kanan dan kiri. Sedangkan di kota terkadang sebelah rumah saja tidak akrab karena jarang ketemu. Sehingga apa yang menjadi urusan keluarga adalah miliknya sendiri, terkadang segan jika minta tolong pada tetangga.
Berikut sikap yang harus dimiliki seorang caregiver :
Sabar adalah hal yang sering kita dengar. Kata itu seringkali terlontar kepada orang yang tertimpa musibah. Kata itu memang pantas diucapkan sebagai penyemangat sekaligus penenang bagi kawan, saudara maupun keluarga.
Namun, sabar akan sulit dilakukan pada orang yang belum menerima apa yang menjadi takdir Tuhan. Â pada hakekatnya sabar adalah menerima dengan ihlas apa yang menimpa kita sedangkan kita tidak menghendakinya.
Misalnya apa yang terjadi pada suami Maya adalah bukan kehendaknya, namun dia harus menerima kenyataan itu dengan ihlas karena itu sudah menjadi ketetapanNya.
Maya sering menangis di keheningan malam, mengadukan segala keluh kesahnya, keterbatasannya dan memohon diberi kesabaran atas musibah yang menimpanya. Semoga dikuatkan raganya mendampingi suami dan mengantarkan anak-anaknya meraih cita-cita.
 Ihtiyar dan tawakal Â
Manusia wajib berusaha, Tuhanlah yang menentukan. Segala bentuk ihtiyar sudah dilakoninya, mulai dari dokter, rumah sakit, terapis, dukun, kiyai dan sebagainya. Selama hampir tiga tahun ini, Maya  berjuang tanpa kenal lelah.
Dia berusaha tegar di depan anak-anaknya, walaupun dikeheningan malam dia rapuh tak berdaya. Beban yang dia tanggung sendiri menjadikan kepasrahan tingkat tinggi kepada Allah SWT. Dia yakin jika Allah berkehendak pasti akan ada keajaiban.
Namun apapun usaha kita saat Allah belum mengabulkan maka semua akan menjadi ihtiyar yang tidak akan terputus oleh waktu. Berusaha mencari kesembuhan adalah kewajiban.
Jangan putus asa saat berihtiyar, sesungguhnya setelah ihtiyar harus ada tahapan selanjutnya, yaitu tawakal. Tawakal adalah menyerahkan semua urusan hanya kepada Allah semata. Apapun yang sudah kita lakukan Allah yang akan memberikan ganjaran. Ihtiyar sembuh adalah kewajiban kita sebagai upaya penghambaan, namun hasil sembuh  adalah takdir Sang Kuasa.Â
Yakini yang terjadi adalah yang terbaik
Kita tak pernah tahu apa dibalik musibah, namun Tuhan yang paling mengerti mengapa kita diberi ujian dan cobaan. Baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah demikian sebaliknya, menggerutu karena musibah yang menimpa, yang kita anggap buruk belum tentu buruk menurut Allah SWT.
Untuk itu meyakini bahwa yang terjadi adalah yang terbaik, yang Allah pilihkan untuk kita. Pasti semua perjalanan ada hikmahnya. Â jika telah meyakini hal ini akan tumbuh rasa ihlas dan legowo saat menerima bentuk cobaan.
Suami yang dulu gagah, berdasi, pergi ke kantor saat pagi hari dan pulang sore hari, jika bertutur penuh wibawa, sekarang, terkulai lemah tak berdaya, Â tak bisa berucap bahkan untuk sekedar minta makan saja tak mampu.
Tiba-tiba menangis saat melihat anak-anaknya sedang salim saat akan berangkat ke sekolah. Netranya tiba-tiba berlinang air mata saat memegang alquran, karena dulu dia sering murajaah dan melantunkannya sekarang dia tak mampu melafalkannya.
Hati siapa yang tidak trenyuh saat melihatnya, namun apa daya segala upaya telah dilakoninya, rumah sakit, rumah terapi adalah hunian keduanya, segala ramuan telah dicobanya. Hanya bisa berharap datangnya mukjizat. Kun fayakun, Jika Allah menghendaki maka semua bisa terjadi.
Luangkan waktu untuk diri sendiri
Semua waktu terampas, semua aktivitas terfokus dan semua biaya terbayarkan, bagaimana seorang caregiver menghargai dirinya. Ajak diri ini berdamai, bahagiakan diri ini dengan hal-hal yang membuat rileks, jangan biarkan diri ini terpuruk dengan kondisi capek.
Luangkan waktumu untuk dirimu sendiri, me time dengan komunitas ibu-ibu pengajian, atau teman-teman guru, atau teman sesama caregiver, supaya sejenak melupakan suasana rumah, supaya ada penyegaran.
Nasehatku untuk Maya, jangan sampai risegn dari pekerjaanmu sebagai guru karena pergi ke sekolah bertemu dengan murud-murid, bertemu dengan guru-guru adalah hal terindah yang bisa mengobati kebosananmu di rumah.
Dengan melihat polah tingkah murid di kelas, Maya bisa tersenyum sesaat, dengan mengikuti kegiatan agustusan sekolah menjadi amunisi Maya menghilangkan kejenahan dari rutinitas di rumah.
"Berilah hadiah untuk dirimu sendiri, jika orang yang kamu sayangi tidak berdaya memberikanmu hadiah".
Bapak dan ibu menjadi cargiver memang berat, karena harus berbalut dengan kesabaran. Namun jika dilakukannya dengan rasa ihlas dan legowo, maka pahala menanti. Mari kita menghargai jerih payah mereka, karena mereka adalah pendamping setia yang tak terbayar dengan finansial.
Salam sehat selalu, semoga bermanfaat. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI